Laporan Dugaan KKN Dua Anak Presiden, Akankah Diusut KPK?
Utama

Laporan Dugaan KKN Dua Anak Presiden, Akankah Diusut KPK?

Posisi KPK yang kini berada di bawah kekuasaan presiden pasca revisi UU KPK, dinilai akan mempengaruhi sikap KPK.

Oleh:
CR-27
Bacaan 5 Menit
Diskusi daring bertema 'KPK Akankah Mengusut Potensi Korupsi Anak Penguasa', Jumat (14/1). Foto: CR-27
Diskusi daring bertema 'KPK Akankah Mengusut Potensi Korupsi Anak Penguasa', Jumat (14/1). Foto: CR-27

Di awal tahun baru 2022, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerima pelaporan yang menyeret nama dua anak Presiden Joko Widodo (Jokowi), yaitu Gibran Rakabuming dan Kaesang Pangarep. Dua anak presiden ini dilaporkan oleh dosen Universitas Negeri Jakarta sekaligus eksponen aktivis 1998 Ubedilah Badrun. Pelaporan ini mengejutkan publik. Apalagi agenda utama pasca reformasi adalah negara yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Di tengah situasi bangsa yang sulit dan beratnya beban ekonomi serta kesejahteraan rakyat ditemukan beberapa kasus korupsi yang terjadi akhir-akhir ini, mulai dari korupsi dana bantuan sosial, korupsi kepala daerah dan kini ada pelaporan dugaan potensi korupsi dari dua anak pemimpin tertinggi di negeri ini.

Publik bertanya-tanya akankah laporan ini hanya sekadar drama politik atau KPK benar-benar akan serius memprosesnya. Founder Pusat Studi dan Kajian Hukum (PSHK), Bivitri Susanti, mengatakan adanya masalah besar di dalam desain KPK akan mempengaruhi akankah laporan ini benar-benar ditindaklanjuti atau sebaliknya, para penguasa atau anak penguasa tidak dapat tersentuh di negara ini. (Baca: Gibran dan Kaesang Dilaporkan Terkait Dugaan KKN, Ini Respons KPK)

“Pasca revisi UU KPK, secara konstitusional KPK yang dahulunya dibangga-banggakan, tiba-tiba di rombak total dan kini berada di bawah pengawasan presiden, dalam arti tidak langsung segala kasus yang kemudian diperiksa akan berada di bawah pengawasan presiden dan bisa saja dihentikan. Akan ada juga pengaruh di dalam hal yang diperiksa dan apa yang tidak bisa diperiksa,” ujarnya dalam sebuah diskusi bertema "KPK Akankah Mengusut Potensi Korupsi Anak Penguasa", Jumat (14/1).

Keraguan yang diungkapkan Bivitri cukup berdasar karena selama tahun 2021 ada 6 catatan dari hasil pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW), Transparency International Indonesia (TII) dan Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) mengenai KPK.

Enam catatan itu yakni jumlah tangkap tangan yang merosot tajam, banyaknya buronan, KPK tidak menyentuh perkara-perkara besar, KPK gagal dalam melakukan tangkap tangan, sengkarut penanganan perkara serta KPK abai dalam perlindungan saksi.

“Selain enam catatan tersebut, sepanjang tahun 2021 ada sekitar 3700-an pengaduan masyarakat. Kita harus sadar bahwa KPK dan lembaga penindakan tindak pidana korupsi seharusnya lebih memperhatikan aduan masyarakat,” tambahnya.

Pelaporan Ubedilah Badrun terhadap dua anak presiden ini termasuk kategori pengaduan masyarakat yang untuk selanjutnya adalah tugas KPK untuk menyelidiki dan menyidiknya lebih jauh hingga nantinya ada penuntutan. Sebagai saksi, kata Bivitri, Ubedilah Badrun harus dilindungi haknya, dalam artian tidak boleh dikriminalkan atau dirisak kehidupannya.

Laporan Ubedilah Badrun terhadap Gibran Rakabuming dan Kaesang Pangarep berdasarkan temuan relasi bisnis antara perusahaan Gibran dan Kaesang dengan perusahaan yang terjerat kasus kebakaran hutan di Palembang pada tahun 2015, yaitu perusahaan Sinar Mas.

Mengenai aturan dasar tidak bolehnya pejabat negara atau keluarga pejabat negara berbisnis merupakan sebuah etika yang seharusnya sudah dipahami. Pengamat politik, Rocky Gerung mengungkapkan bahwa semua pejabat negara diikat oleh kesepakatan yang memahami etika.

Menurutnya, siapapun yang memiliki akses terhadap bisnis harus dihentikan karena aset mempunyai hubungan akumulasi modal dan bisnis yang seharusnya diletakkan di lembaga blind trust, sehingga selama jabatan berjalan tidak ada indikasi yang mencurigakan. Sebagai keluarga dari pejabat negara, tidak boleh berbisnis merupakan salah satu konsekuensi yang seharusnya dipahami oleh keluarga ataupun pejabat publik itu sendiri.

“Segala hubungan politik dan informasi bisnis itu rawan, untuk memahami hukum etika di dalam kekuasaan, sudah seharusnya segala aset yang berkaitan dengan bisnis dimasukkan kedalam blind trust,” ucapnya.

Jika ada hal-hal yang dilakukan, lanjut Rocky, harus ada deklarasi mengenai benturan kepentingan, terutama di bidang bisnis agar tidak ada penyalahgunaan jabatan.

Rocky mengatakan tidak mudah melaporkan lingkaran istana kepada pihak yang berwenang, apalagi dalam kasus ini Ubedilah Badrun dilaporkan kembali akibat pencemaran nama baik. Pelaporan Ubedilah Badrun kepada pihak kepolisian menimbulkan kecurigaan lainnya, lantaran yang melaporkan Ubedilah adalah kalangan di luar keluarga Presiden yang tidak memiliki dasar atas pelaporan Ubedilah yang bahkan belum diproses di KPK dan belum dipastikan kebenarannya.

Pelaporan yang dilakukan oleh Ubedilah Badrun ini sejatinya menjalankan haknya di dalam Pasal 8 UU No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Bersih dan Bebas dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN).

“Penegak hukum harus fokus ke laporan Ubedilah bukan hanya sibuk mengurusi pelaporan orang yang melaporkan Ubedilah yang tidak ada di ruang pelaporan awal, hal ini semacam ancaman bagi kemerdekaan publik untuk berpartisipasi dalam pemerintahan yang bertindak sebagai warga negara yang baik dengan laporan seperti ini, laporan ini harus ditindak lanjuti sehingga tidak ada bias yang menyebabkan kasus ini tidak berkembang,” kata Direktur Pusat Studi Konstitusi, Feri Amsari, di acara yang sama.

Menurutnya, perang melawan korupsi dimulai dari diri sendiri dan dari keluarga. Kasus korupsi yang banyak ditemui saat ini, justru kasus korupsi keluarga. Ini mengindikasikan tingkat pendidikan tersangka dan pidana korupsi semakin naik. Hal ini menjadi sesuatu yang ironis lantaran tidak adanya sistem pendidikan yang membangun kesadaran anti korupsi sejak masih sekolah.

Lebih jauh, Feri mengatakan apa yang telah dilakukan Ubedilah Badrun ini mewakili suatu habitus etis yang telah hilang dari KPK. Adanya kasus ini, menurut Feri, secara tidak langsung menguji KPK apakah masih memiliki habitus etis atau sekadar lembaga teknis yang diorganisasikan oleh presiden karena ini rawan secara kekuasaan.

Laporan Ubedilah Badrun ini juga menjadi sebagai sebuah gelombang yang mungkin belum kuat jika seluruh rakyat berani berkata benar dan berani melaporkan yang salah maka secara tidak langsung bisa menghormati undang-undang yang ada dan hak konstitusional yang ada, sehingga tidak ada warga negara yang kecewa dengan konstitusi negara.

Sebelumnya, Ikatan Aktivis 98 dan Relawan Jokowi Mania (JoMan) melaporkan Ubedilah Badrun ke Polda Metro Jaya terkait laporan Ubedilah ke KPK soal dugaan korupsi oleh Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep.

"Hari ini tim hukum kami sudah menjelaskan beberapa pasal delik aduan terkait laporan palsu. Kita melaporkan Ubedillah Badrun di Pasal 317 KUHP," kata Ketua Umum JoMan, Imanuel Ebenezer, seperti dilansir Antara di Polda Metro Jaya, Jakarta, Jumat (14/1).

Laporan itu telah diterima dan teregister dengan nomor LP/B/239/I/2022/SPKT/Polda Metro Jaya, tanggal 14 Januari 2022. Immanuel mengatakan pihaknya melapor kepada pihak kepolisian karena adanya laporan Ubedillah Badrun ke KPK.

"Karena basis laporannya berbasis kepalsuan atau hoaks. Jadi, ini tidak mendidik, apalagi beliau itu kan seorang dosen, intelektual, aktivis, seharusnya lebih bisa memberikan pendidikan politik kepada masyarakat," ujarnya.

KPK sebelumnya juga merespons adanya laporan terhadap Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep yang dilayangkan Ubedilah Badrun. "Terkait laporan tersebut, informasi yang kami terima, benar hari ini telah diterima bagian persuratan KPK," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya di Jakarta, Senin (10/1).

KPK, lanjut Ali, mengapresiasi pihak-pihak yang terus gigih mengambil peran dalam upaya pemberantasan korupsi. KPK akan menindaklanjuti setiap laporan masyarakat tersebut. "Tentu dengan lebih dahulu melakukan verifikasi dan telaah terhadap data laporan ini. Verifikasi untuk menghasilkan rekomendasi, apakah aduan tersebut layak untuk ditindaklanjuti dengan proses telaah atau diarsipkan," ucap Ali.

Ia menjelaskan proses verifikasi dan telaah penting sebagai pintu awal, apakah pokok aduan tersebut sesuai undang-undang yang berlaku, termasuk ranah tindak pidana korupsi dan menjadi kewenangan KPK atau tidak.

Tags:

Berita Terkait