Larangan-Larangan Tindakan Hukum Terhadap Harta Benda Wakaf
Lipsus Lebaran 2020

Larangan-Larangan Tindakan Hukum Terhadap Harta Benda Wakaf

Pemberian izin dari Menteri untuk perubahan status harta benda wakaf harus memenuhi syarat. BWI memberikan pertimbangan.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit

Kedua, pemohon mengajukan permohonan kepada kantor BPN setempat dengan melampirkan surat permohonan, surat ukur, sertifikat Hak Milik yang bersangkutan atau bukti kepemilikan yang sah, AIW atau APAIW, surat pengesahan Nazhir yang bersangkutan dari KUA dan terakhir surat pernyataan dari Nazhir bahwa tanahnya tidak dalam sengketa, perkara, sita, dan tidak dijaminkan. Ketiga, Kepala Kantor Pertanahan menerbitkan Sertifikat Tanah Wakaf atas nama Nazhir, dan mencatat dalam Buku Tanah dan sertifikat Hak atas Tanah pada kolom yang telah disediakan.

Perluasan harta benda wakaf juga menimbulkan persoalan ketika menyangkut tindakan hukum yang ditujukan kepada harta benda wakaf tersebut. Misalnya, jika terjadi jual beli saham. Apakah saham yang diwakafkan dapat dijual dan dipindahtangankan kepada orang lain? Persoalan inilah yang harus dibawa kembali ke dalam ketentuan UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Di sini ada sejumlah perbuatan hukum yang dilarang.

Pasal 40 UU Wakaf mengatur secara khusus perubahan status harta benda wakaf. Ada tujuh perbuatan hukum yang dilarang dilakukan: dijadikan jaminan, disita, dihibahkan, dijual, diwariskan, ditukar, atau dialihkan dalam bentuk pengalihan lainnya. Tidak dijelaskan lebih lagi perbuatan-perbuatan detil apa yang dimaksud dalam larangan. Misalnya, perbuatan menjual seperti apa yang dilarang? (Baca juga: Hukumnya Menyimpangi Pemanfaatan Tanah Wakaf)

Beberapa pengecualian diatur dalam Pasal 41 UU Wakaf dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Misalnya, perbuatan menukar harta benda wakaf dapat dikecualikan jika harta benda wakaf yang telah diwakafkan digunakan untuk kepentingan umum sesuai peraturan perundang-undangan dan tidak bertentangan dengan syariah. Setidaknya ada dua syarat yang ditentukan jika terjadi penukaran harta benda wakaf. Pertama, penukaran hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin tertulis dari Menteri Agama atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia. Kedua, harta benda pengganti harus punya manfaat dan nilai lebih atau setidak-tidaknya sama dengan harta benda wakaf yang ditukar.

Salah satu kasus yang pernah diberitakan adalah penjualan tanah wakaf di daerah Cakung Jakarta Timur pada 2017 silam. Ada lahan wakaf yang di atasnya berdiri masjid sejak 1970 hendak dijual. Terungkap pula tanah itu sudah diagunkan. Kasus ini mendapat perhatian dan dihubungkan dengan ancaman pidana dalam UU Wakaf. Pasal 67 UU Wakaf memang memuat ancaman pidana bagi siapapun yang melakukan perbuatan terlarang sebagaimana dimaksud Pasal 40 UU Wakaf. Tidak hanya mengancam warga, orang yang mengelola harta benda wakaf (nazhir) pun dapat dihukum jika melakukan perubahan peruntukan harta wakaf tanpa izin.

Perbuatan hukum yang mengakibatkan perubahan status harta benda wakaf juga berpotensi menimbulkan sengketa. Anggota Dewan Kehormatan DPW DKI Jakarta Asosiasi Pengacara Syari’ah Indonesia (APSI) Ahmad Ramzy mengatakan memang ada sejumlah potensi terjadinya sengketa dalam wakaf, termasuk seperti kasus yang terjadi di Cakung. Pengingkaran salah satu ahli waris terhadap harta benda yang telah diwakafkan juga berpotensi melahirkan sengketa. Bisa juga terjadi jika salah satu pasangan mewakafkan harta bersama tanpa persetujuan pasangan. “Yang lazim jadi sengketa  juga ketika si pewakif mewakafkan bukan di hadapan Pejabat Pmbuat Akta Ikrar Wakaf (KUA) dengan artian wakafnya tidak terdaftar,” ujar Ramzy.

Bersyarat

Mengingat persoalan hukum yang mungkin timbul, maka perubahan status harta benda wakaf juga dibuat ketat. Menteri Agama pun tidak dapat sembarangan memberikan izin perubahan status. Setidaknya ada tiga hal yang harus dipertimbangkan Menteri Agama, selain pandangan Badan Wakaf Indonesia. Pertama, Menteri harus bisa memastikan bahwa perubahan harta benda wakaf digunakan untuk kepentingan umum sesuai Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) sesuai peraturan perundang-undangan dan tidak bertentangan dengan syariah. Kedua, apakah harta benda wakaf tidak dapat dipergunakan sesuai dengan ikrar wakaf. Ketiga, memastikan bahwa pertukaran dilakukan untuk keperluan keagamaan secara langsung dan mendesak.

Menteri juga harus melihat pada harta benda yang diwakafkan. Pertama, harta benda penukar memiliki sertifikat atau bukti kepemilikan sah sesuai peraturan perundang-undangan. Kedua, nilai dan manfaat harta benda penukar sebaiknya lebih tinggi, atau setidak-tidaknya sama dengan harta benda wakaf semula.

Ini berarti bahwa perbuatan hukum yang mengakibatkan perubahan status hukum harta benda wakaf tidak bisa sembarangan dilakukan. Ada implikasi hukum perdata, agama, dan pidana jika larangan yang disebut dalam UU Wakaf diterobos.

Tags:

Berita Terkait