Law Firm AS Berinovasi Dalam Merekrut Lawyer
Berita

Law Firm AS Berinovasi Dalam Merekrut Lawyer

Fakultas hukum ditantang untuk tidak hanya mengajarkan bagaimana menjadi pengacara, tetapi juga dilengkapi dengan kecerdasan emosional.

Oleh:
RZK
Bacaan 2 Menit
Dekan the University of Colorado Law of School, Phil Weiser. Foto: http://colorado.edu/law/
Dekan the University of Colorado Law of School, Phil Weiser. Foto: http://colorado.edu/law/

Setiap perusahaan atau entitas bisnis lainnya seperti firma hukum (law firm) tentunya melakukan rekrutmen dalam rangka pengembangan SDM. Untuk mendapatkan staf terbaik, maka diperlukan metode rekrutmen yang tepat. Di dunia law firm di Amerika Serikat muncul inovasi-inovasi menarik dalam proses rekrutmen.

Dalam sebuah artikel di www.abajournal.com, Dekan the University of Colorado Law of School, Phil Weiser memaparkan tren dan ragam cara law firm-law firm di Amerika Serikat (AS) dalam melakukan rekrutmen. Menurut Phil, sebagian law firm di AS masih menggunakan cara-cara konvensional dalam merekrut staf pengacara.

Cara yang paling standar adalah menyeleksi pelamar berdasarkan Grade Point of Average (GPA) – atau Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) di Indonesia- dan asal universitas si pelamar. Phil mengatakan melakukan rekrutmen dengan rujukan GPA sebenarnya sudah lama ditinggalkan oleh kalangan industri secara umum. Namun, di dunia law firm justru cara tradisional masih dipakai.

“Seorang partner di law firm besar pernah mengatakan kepada saya, bahwa law firm bahkan cenderung tidak mau merekrut lawyer yang sudah sukses, kalau dia bukan mahasiswa terbaik di kelasnya ketika kuliah. Ini bukti nyata bahwa tradisi lama itu sulit diubah,” papar Phil.

Namun, bagusnya, kata Phil, sebagian law firm lainnya mulai menggunakan cara-cara inovatif dalam pola rekrutmen mereka. Sebagai contoh, Phil menyebut Law Firm Kilpatrick Townsend yang menerapkan metode rekrutmen, dimana si pelamar mengikuti acara retret (seperti konsinyering). Saat retret itu, si pelamar diwawancarai oleh sekitar tujuh pengacara. Selain wawancara, dalam retret, si pelamar juga dilibatkan dalam tugas kelompok.

Dengan metode ini, Kilpatrick Townsend mendapatkan temuan menarik bahwa pelamar yang bagus secara kualifikasi tertulis (ijazah, tranksrip nilai, dll) justru cenderung gagal. Menariknya, metode ini selain dalam rangka seleksi staf baru, juga dapat menumbuhkan rasa kebersamaan yang kuat di kalangan staf.

“Dalam konteks rekrutmen law firm, konsep ini agak radikal,” imbuh Phil.

Dalam merektrut staf, Kilpatrick Townsend sangat memperhatikan aspek-aspek kompetensi pelamar yang meliputi daya tahan dan kemampuan beradaptasi menghadapi beragam situasi dan kondisi, kemampuan bekerja secara tim, rasa empati dan kepemimpinan.

Law Firm Wombe Carlyle menerapkan inovasi metode rekrutmen yang lain lagi. Setiap pelamar diminta membuat video singkat dimana masing-masing dari mereka menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan dunia praktik yang akan mereka hadapi nanti.

Berikutnya, Law Firm Schiff Hardin bekerja sama dengan Lawyer Metrics, sebuah perusahaan penyedia data, riset, dan konsultan SDM yang didirikan oleh Profesor Bill Henderson asal Indiana University Maurer School of Law, untuk merumuskan suatu konsep wawancara perilaku pelamar. Dalam wawancara ini, pelamar juga diberi tugas tertulis yang harus dirampungkan di lokasi langsung. 

Phil berpendapat mencermati perkembangan metode rekrutmen law firm saat ini, maka fakultas hukum menghadapi tantangan baru yang tidak mudah. Fakultas hukum harus mulai mengembangkan metode pengajaran yang tidak hanya mengajarkan mahasiswanya tentang “bagaimana bertindak dan berpikir sebagai pengacara”, tetapi juga kecerdasan emosional.

Tags:

Berita Terkait