Law Firm Korporasi Buka Pintu untuk Layanan Pro Bono
Utama

Law Firm Korporasi Buka Pintu untuk Layanan Pro Bono

Selama ini law firm memiliki tantangan berupa tidak adanya akses ke kasus pro bono sehingga sulit menjalankan kewajibannya memberikan layanan hukum cuma-cuma.

Oleh:
Tri Yuanita Indriani
Bacaan 2 Menit
Suasana acara roundtable yang digelar oleh PILnet bekerja sama dengan BABSEACLE, TrustLaw, dan Hukumonline.com. Foto; Hukumonline
Suasana acara roundtable yang digelar oleh PILnet bekerja sama dengan BABSEACLE, TrustLaw, dan Hukumonline.com. Foto; Hukumonline
Dalam rangka memenuhi kewajiban yang diperintahkan kepada seorang advokat untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma, beberapa law firm korporasi ternama di Jakarta membuka pintu bagi masyarakat yang membutuhkan layanan pro bono. Sebut saja nama-nama firma hukum besar di Indonesia seperti Hadiputranto, Hadinoto & Partners (HHP), Assegaf Hamzah & Partners (AHP), dan Ginting & Reksodiputro (G&R).

G&R, kantor hukum yang memiliki afiliasi dengan law firm internasional Allen Overy, ini bahkan memiliki nota kesepahaman dengan sebuah Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Jakarta untuk menunjukkan keseriusannya dalam pelayanan tersebut. Daniel Ginting mengatakan bahwa kantor yang didirikannya itu biasa menerima limpahan kasus dari LBH untuk ditangani secara pro bono.

“Kami punya MoU (Memory of Understanding atau nota kesepahaman, red) dengan LBH. Kasus apapun yang mereka ingin kami bantu, kami meminta list kepada mereka, dan setelah kami tentukan akan mengambil kasus yang mana, kami akan kirim lawyer kami untuk in charge dalam kasus tersebut, termasuk juga menyediakan seluruh biaya operasional yang diperlukan,” ujar Daniel, Rabu (27/7).

Berbeda kebijakan yang diterapkan, di kantor hukum Leks & Co. bahkan terdapat partner yang khusus mengurusi layanan pro bono yang diberikan oleh lawyer di kantornya. Ambil bagian sebagai kontributor TrustLaw – program pro bono yang dikembangkan oleh Thomson Reuters Foundation, Leks & Co. mewajibkan lawyer-lawyernya untuk menyisihkan waktu untuk memberikan asistensi hukum pada kasus-kasus pro bono yang masuk.

Kebijakan-kebijakan di atas dan beberapa kebijakan lain yang serupa menunjukkan keseriusan law firm korporasi di Indonesia untuk bisa ambil bagian dalam penanganan kasus yang umumnya lebih banyak dijalankan oleh LBH. Sayangnya, meski begitu, beberapa pemilik law firm menyebutkan bahwa mereka tetap kesulitan untuk menjalankan kewajiban mereka.

Firmansyah dari Karimsyah law firm menyebutkan bahwa selama ini kasus pro bono yang datang ke kantornya bukan lah berasal dari pencari keadilan yang tidak mampu seperti yang disebutkan dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Kasus yang biasa diberikan pendampingan gratis justru datang dari keluarga atau kerabat dari anggota law firm, kata Firman.

“Permintaan yang datang dari masyarakat yang membutuhkan bantuan kami justru tidak ada,” tuturnya dalam kesempatan yang sama, yaitu dalam acara round table yang membahas program pro bono kantor hukum yang dilaksanakan oleh PILnet bekerja sama dengan BABSEACLE, TrustLaw, dan Hukumonline.com.

(Baca Juga: Probono Advokat Bukan Sekadar Kerja Litigasi)

“Jadi kalau mengikuti aturan ideal pro bono, kepada siapa pro bono itu diberikan seharusnya, saya sampaikan bahwa hingga saat ini tidak ada yang datang kepada kami untuk meminta pendampingan hukum gratis. Hanya mereka yang merupakan teman atau keluarga yang datang kepada kami. Namun, karena pro bono ini kewajiban, maka kami tetap mengambil kasus itu,” lanjutnya.

Pernyataan Firmansyah itu diamini oleh Wemmy Muharamsyah, partner pada Armand Yapsunto Muharamsyah & Partners (AYMP). Wemmy mengatakan bahwa tantangan terbesar yang dihadapi oleh law firm komersial terlebih khususnya law firm korporasi adalah akses terhadap kasus pro bono.

“Itu tantangan terbesar kita. Dan saya menilai hal ini bisa terjadi disebabkan karena adanya tendensi dari mereka yang mengatakan bahwa bila mereka datang ke law firm meminta jasa pro bono kemungkinan akan ditolak. Mindset mereka bila membutuhkan bantuan hukum ya mereka datang ke LBH,” ungkap Wemmy.

Akses yang berupa mindset dari pencari keadilan bahwa meminta jasa pro bono ke law firm adalah sia-sia menjadi tantangan sendiri. “Jadi, kami para lawyer tidak melakukan pro bono bukan karena kami tidak mau. Kami mau. Tetapi akses kami terhadap kasus-kasus pro bono ini yang jadi tantangannya,” imbuh Wemmy.

Untuk diketahui, layanan pro bono yang dapat diberikan advokat tidak hanya berkisar pada pendampingan hukum dalam kasus litigasi saja, tetapi ada juga layanan pro bono non litigasi seperti melakukan penelitian hukum, memberikan nasihat hukum, membantu penyusunan berkas hukum, dan memberikan pengajaran serta pelatihan hukum. 
Tags:

Berita Terkait