Lawyers Harus Adaptif dengan Kemajuan Teknologi Mulai dari Compliances hingga Dispute Resolution
Hukumonline's NeXGen Lawyers 2022

Lawyers Harus Adaptif dengan Kemajuan Teknologi Mulai dari Compliances hingga Dispute Resolution

Sebagai penduduk yang tinggal di era serba digital, adaptasi teknologi (technology mindset) bagi seorang lawyer menjadi hal yang mutlak. Prinsip “technology-savvy” harus digenggam erat tiap kali menjalankan profesi.

Oleh:
Tim Hukumonline
Bacaan 7 Menit
Foto: Annisa Furqanina, Aldjufri Gill Priscilla Rizki Law Firm
Foto: Annisa Furqanina, Aldjufri Gill Priscilla Rizki Law Firm

Perjalanan Kuliah

Sejak di Sekolah Menengah Atas (SMA), Annisa Furqanina sudah menginginkan profesi yang akan ia geluti di masa depan setelah lulus Sarjana yaitu menjadi lawyer, yang berarti akan berhadapan dengan orang-orang yang akan menjadi klien dalam profesinya. Ketika memilih fakultas hukum sebagai mahasiswi pendidikan tingkat Sarjana, Annisa sudah mempersiapkan diri bahwa di masa depan dirinya akan banyak menghadapi situasi yang sifatnya tidak pasti. Ketika menjadi lawyyer, tentunya Annisa akan menghadapi situasi di mana karakter dari masing-masing klien tidak sama, begitu juga dengan pekerjaan-pekerjaan yang mereka berikan, belum lagi dengan regulasi yang sudah tidak asing lagi kalau perubahan peraturan sangatlah cepat terjadi seiring dengan perkembangan zaman.

Dengan memilih fakultas hukum, Annisa sudah harus siap bahwa modal utama yang harus ia pegang untuk dapat menghadapi situasi yang tidak pasti tersebut adalah dengan kemampuan beradaptasi dengan perubahan-perubahan baik dalam segi sosial maupun teknologi. Annisa mempunyai tekat yang kuat bahwa selama kuliah, ia tidak hanya lulus dengan membawa Indeks Kumulatif Prestasi (IPK), tetapi juga pengalaman internasional yang pastinya akan dirinya butuhkan adaptivity skills-nya di masa depan saat menjalani profesi sebagai lawyer. Oleh karenanya, selama kuliah Annisa menggunakan waktu sebaik-baiknya untuk ikut serta dalam berbagai kegiatan. Kegiatan-kegiatan yang pernah ia jalani selama kuliah di Universitas Pasundan Bandung adalah sebagai berikut:

  1. Program Pertukaran Pelajar ke Faculty of Law Prince of Songkla University (2015);
  2. Kompetisi Law Debate dan Moot Court di Faculty of Law Prince of Songkla University (2015);
  3. Program Penulisan Manual Book for Indonesian Migrant Workers di Hong Kong dan Singapura bekerja sama dengan TIFA Foundation (2015);
  4. Program Penunjukan Youth Representative for Legal Ethics ke Singapura (2014); dan
  5. Program Legal Extern di Faculty of Law National University of Singapore (2014).

Semua kegiatan-kegiatan di atas tidak lepas dari peran teknologi informasi. Misalnya, pada saat melakukan presentasi pertukaran budaya, presentasi riset, serta proses latihan-latihan yang ia dan timnya lakukan sebelum menyelenggarakan kegiatan utamanya.

Bekerja di AGPR (Aldjufri Gill Priscilla Rizki)

Annisa memulai karir di Firma Hukum AGPR sejak November 2020 sebagai Junior Associate yang menekuni bidang praktik Dispute Resolution and Manpower. Dalam praktik sehari-hari, Annisa diberikan pekerjaan seputar dispute resolution, manpower, dan compliances. Sampai dengan saat ini, Annisa benar-benar mendapatkan pengalaman yang tidak pernah dirinya bayangkan akan secepat ini ia peroleh dalam kurang lebih 2 (dua) tahun berkarir sebagai lawyer. Dalam menjalankan pekerjaan di ketiga bidang tersebut, Annisa mengerjakan produk-produk hukum untuk perusahaan-perusahaan multinasional yang bisa dikategorikan sebagai perusahaan yang terkemuka dan memiliki riwayat kegiatan bisnis yang mengambil bagian besar dalam perekonomian Indonesia, baik secara nasional maupun secara internasional. Sektornya pun beragam, mulai dari financial technology (bidang usaha yang sangat tren belakangan ini), penerbangan, jasa desain konstruksi, peralatan otomotif, hingga jasa pemasangan kabel bawah laut.

Dari segi bidang dispute resolution, bagi Annisa lawyer tidak boleh lupa bahwa setiap pembentukan kerja sama di dunia bisnis, selalu ada potensi dispute. Meskipun segala hak dan kewajiban bagi para pihak yang ada di dalam perjanjian kerja sama sudah diatur secara baik, potensi dispute masih tetap ada. Dari berbagai pekerjaan yang diberikan kepada dirinya selama di AGPR, terdapat 3 (tiga) proyek dispute resolution yang bagi Annisa case terbesar dan sangat menantang, yaitu adalah dispute sektor penerbangan antara perusahaan asal Perancis dengan perusahaan asal Singapura; dispute sektor konstruksi antara perusahaan penanaman modal asing (PMA) dengan Badan Usaha Milik Negara dari Indonesia; dan dispute pengerjaan pemasangan kabel bawah laut antara dua perusahaan asal Indonesia.

Menurut Annisa pribadi, dalam menjadi lawyer, mahir untuk mengerjakan compliances saja tidak cukup, tetap harus punya “sense of dispute resolution”. Bayangkan ketika kita membuat perjanjian kerja sama untuk kepentingan bisnis perusahaan milik klien, sudah dibuat serapi mungkin, kemudian ketika dispute muncul, kita yang profesinya adalah sebagai “problem solver” tidak mempunyai pengetahuan yang lincah tentang dispute resolution.

Halaman Selanjutnya:
Tags: