Layak Diapresiasi, 8 Putusan Ini Berdampak Positif Terhadap Lingkungan Hidup
Terbaru

Layak Diapresiasi, 8 Putusan Ini Berdampak Positif Terhadap Lingkungan Hidup

Meliputi putusan Pengadilan Tinggi Bangka Belitung terkait anti SLAPP; Putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat tentang gugatan pencemaran udara; Putusan tentang kebakaran hutan dan lahan; serta 2 putusan MK masing-masing terkait pengujian UU Tindak Pidana Pencucian Uang dan UU Cipta Kerja.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 5 Menit
Narasumber diskusi secara daring bertema 'Environmental Law Outlook 2022: Menata Kembali Hukum Lingkungan Indonesia', Kamis (3/2/2022). Foto: ADY
Narasumber diskusi secara daring bertema 'Environmental Law Outlook 2022: Menata Kembali Hukum Lingkungan Indonesia', Kamis (3/2/2022). Foto: ADY

Berbagai kasus terkait pelanggaran di sektor lingkungan hidup ada yang berproses sampai pengadilan. Dari banyak perkara lingkungan hidup di pengadilan, ada 8 putusan yang terbit dalam beberapa tahun terakhir dinilai berdampak positif terhadap perlindungan lingkungan hidup. Deputi Direktur ICEL, Grita Anindarini, mencatat 8 putusan itu memberikan preseden baik dan mendorong pembaruan hukum lingkungan hidup.

Pertama, putusan Pengadilan Tinggi Bangka Belitung dengan nomor perkara 21/Pid/2021/PT BBL. Grita menjelaskan putusan itu merupakan kemenangan pertama anti-SLAPP (Strategic Litigation Against Public Participation) dalam ranah pidana. Pengadilan tingkat pertama menyatakan Robandi dkk bersalah, tapi putusan itu dibatalkan Pengadilan Tinggi Bangka Belitung dan membebaskan Robandi dkk.

Robandi dkk adalah warga Kelurahan Kenanga, di kabupaten Bangka Belitung yang dikriminalisasi karena memperjuangkan hak atas lingkungan hidupnya dari pencemaran. Menurut Grita putusan tersebut mengandung kebaruan hukum sebagai putusan pidana pertama yang bersifat anti-SLAPP karena berhasil mengidentifikasi partisipasi publik dan melepaskan masyarakat dari jerat SLAPP.

Putusan Pengadilan Tinggi Bangka Belitung itu menurut Grita menginterpretasikan pasal 66 UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Yakni mengakui dan mengidentifikasi perbuatan warga kelurahan Kenanga sebagai bentuk partisipasi publik yang dijamin hukum.

“Putusan ini seharusnya menjadi momentum untuk penguatan regulasi anti-SLAPP di Indonesia. Misalnya mengaturnya dalam RUU KUHAP, RUU KUHAPer, regulasi di tingkat Kementerian, Mahkamah Agung, dan Kejaksaan,” kata Grita dalam diskusi secara daring bertema Environmental Law Outlook 2022: Menata Kembali Hukum Lingkungan Indonesia, Kamis (04/02) kemarin.

(Baca Juga: ICEL Kritisi 10 Instrumen Hukum Lingkungan Pasca UU Cipta Kerja)

Kedua, putusan PN Jakarta Pusat yang mengabulkan sebagian gugatan No.374/Pdt.G/2019/PN.Jkt.Pst tentang pencemaran udara di Jakarta. Beberapa hal yang perlu dicermati dalam putusan itu antara lain pentingnya melakukan inventarisasi emisi lintas batas (Jakarta, Jawa Barat, dan Banten), dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) perlu untuk melakukan supervisi kepada ketiga gubernur (Jakarta, Banten, dan Jawa Barat).

Putusan itu juga mengingatkan Presiden RI untuk memperketat baku mutu udara ambien (BMUA) nasional untuk melindungi kesehatan. Gubernur Jakarta perlu menginventarisasi emisi yang diperlukan untuk penyusunan dan implementasi strategi dan rencana aksi pengendalian pencemaran udara. Terakhir menggunakan instrumen yang relevan untuk dimanfaatkan seperti penetapan wilayah perlindungan dan pengelolaan mutu udara (WPPMU) dan rencana perlindungan dan pengelolaan mutu udara (RPPMU).

Tags:

Berita Terkait