LBH Jakarta: 5 Kebijakan Ini Merepresi Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi
Terbaru

LBH Jakarta: 5 Kebijakan Ini Merepresi Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi

Kasus yang dilaporkan antara lain kriminalisasi terhadap aktivis pembela HAM dengan tudingan pencemaran nama baik dan penyebaran berita bohong. Kriminalisasi terhadap aktivis serikat buruh dan gerakan mahasiswa yang mengemukakan pendapat di muka umum secara damai melalui demonstrasi.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Pengacara Publik LBH Jakarta Citra dalam webinar peluncuran laporan penelitian berjudul 'Melindungi Ekspresi: Analisis Pidana dan HAM atas Putusan Pengadilan di Indonesia', Rabu (30/11/2022).
Pengacara Publik LBH Jakarta Citra dalam webinar peluncuran laporan penelitian berjudul 'Melindungi Ekspresi: Analisis Pidana dan HAM atas Putusan Pengadilan di Indonesia', Rabu (30/11/2022).

Organisasi masyarakat sipil selama ini kerap menyoroti menyempitnya kebebasan berpendapat dan berekspresi dalam beberapa tahun terakhir. Pengacara Publik LBH Jakarta, Citra Referendum, mengatakan periode 2017-2021 lembaganya menerima 20 kasus kebebasan berpendapat dan berekspresi dengan pencari keadilan sebanyak 175 orang. Beberapa kasus yang ditangani antara lain kriminalisasi terhadap aktivis pembela HAM Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti. Mereka dituding melakukan pencemaran nama baik dan penyebaran berita bohong.

Kriminalisasi juga menimpa kalangan aktivis serikat buruh, gerakan mahasiswa dan aktivis Papua yang melakukan penyampaian pendapat di muka umum secara damai melalui demonstrasi. Misalnya, pada saat memperingati May Day dan hari Pendidikan Nasional tahun 2021 serta demonstrasi di depan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta tahun 2021.

Menurut Citra, salah satu sebab menyempitnya kebebasan berpendapat dan berekspresi karena ada sejumlah kebijakan yang merepresi masyarakat sipil. Setidaknya ada 5 kebijakan yang berdampak buruk terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi. Pertama, Surat Edaran Kapolri No.SE/2/ II/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif, yang diterbitkan oleh Markas Besar Kepolisian RI, yang di dalamnya memuat program bertajuk Patroli Siber.

“Program ini berimplikasi pada praktik spionase aktif yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap ekspresi dan pendapat warga sipil di dunia maya dan justru akan berdampak pada kondisi ketakutan warga sipil,” kata Citra dalam webinar peluncuran laporan penelitian berjudul “Melindungi Ekspresi: Analisis Pidana dan HAM atas Putusan Pengadilan di Indonesia,” Rabu (30/11/2022) kemarin.

Baca Juga:

Kedua, UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja seperti klaster Kepariwisataan dimana Pasal 67 mengatur usaha pariwisata yang ada diwajibkan untuk menghormati norma agama, adat istiadat, budaya, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat setempat. Redaksional norma dalam ketentuan itu tidak jelas dan multitafsir. Praktiknya berpotensi mengekang kebebasan berekspresi masyarakat sipil.

Ketiga, Citra melihat klaster Keamanan Pasal 75 UU Cipta Kerja memuat ketentuan yang memberi kewenangan spionase aktif kepada kepolisian untuk mengawasi aliran yang dianggap dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. “Kewenangan ini berpotensi menimbulkan praktik spionase diskriminatif terhadap kelompok warga sipil yang memiliki keunikan tersendiri dan pandangan yang berbeda,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait