LBH Jakarta: Ada 12 Pekerjaan Rumah untuk Kapolri Baru
Berita

LBH Jakarta: Ada 12 Pekerjaan Rumah untuk Kapolri Baru

Kapolri baru diharapkan mampu mewujudkan cita-cita reformasi untuk menjadikan kepolisian sebagai lembaga penegak hukum yang demokratis dan menghormati HAM.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 5 Menit

Keempat, kepolisian terseret arus politik kekuasaan. Arif menilai kepolisian menunjukkan praktik penegakan hukum yang sulit dibedakan dari bentuk praktik represif kekuasaan terhadap masyarakat atau oposisi yang mengkritik pemerintah. Hal ini menjadikan polisi sebagai alat kekuasaan, bukan alat negara untuk penegakan hukum yang adil dan imparsial (tidak memihak). Polri juga diduga terlibat dalam banyak upaya pembungkaman dan kriminalisasi aktivis melalui berbagai penerapan pasal karet seperti makar dan UU ITE.

Kelima, menerbitkan maklumat dan instruksi yang membatasi dan mengurangi HAM. Tahun 2020, Polri menerbitkan beberapa maklumat yang membatasi HAM, antara lain Maklumat Kapolri No.2/III/2020 tentang Kepatuhan terhadap Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Penyebaran virus Corona (Covid-19); Maklumat Nomor Mak/1/I/2020, Surat Telegram No.STR/645/X/PAM.3.2./2020 tertanggal 2 Oktober 2020 untuk menggagalkan demonstrasi penolakan omnibus law. Arif menilai surat telegram tersebut tidak sesuai dengan ketentuan mengenai standar pembatasan dan pengurangan HAM.

Keenam, korupsi. Arif menjelaskan tahun 2019 ada “skandal buku merah” atau kasus dugaan perusakan barang bukti dalam kasus impor daging. Dalam buku itu terdapat catatan pengeluaran uang ke petinggi Polri. Kasus itu telah dilimpahkan KPK ke Polri, tapi ujungnya kasus dihentikan. November 2020, ada kasus yang melibatkan 2 perwira tinggi polisi terkait penghapusan red notice Djoko Tjandra.

Ketujuh, Dwi fungsi polisi. Arif mengingatkan salah satu tuntutan reformasi adalah menghapus dwifungsi ABRI yang tujuannya untuk mewujudkan aparat keamanan yang profesional dan demokratis. Tapi sekarang praktik dwifungsi itu kembali muncul dimana anggota kepolisian aktif dapat menduduki berbagai jabatan sipil, misal ketua KPK, kepala BIN, direktur utama Bulog, kepala BNN, kepala BNPT, LPSK, Menteri Dalam Negeri, kepala inspektorat dan direktorat jenderal berbagai kementerian.

“Melansir temuan Ombudsman, tercatat 13 orang polisi menjadi komisaris BUMN dan 7 persen dari 167 komisaris di anak perusahaan BUMN,” beber Arif.  

Delapan, lemahnya kontrol terhadap pertanggungjawaban etik dan hukum aparat kepolisian. Arif berpendapat setelah reformasi, Polri menjadi lembaga yang super power. Sampai saat ini tidak ada lembaga yang dapat efektif mengawasi dan menuntut pertanggungjawaban kepolisian dalam menjalankan tugas sesuai peraturan perundang-undangan. “Propam sebagai pengawas internal dinilai tidak efektif, termasuk kompolnas selaku pengawas eksternal.”

Sembilan, penundaan proses (undue delay). Arif mencatat kasus penundaan proses hukum terjadi dalam berbagai kasus yang ditangani LBH Jakarta, misalnya kasus pinjaman daring. Tahun 2018, LBH Jakarta menerima pengaduan dari korban pinjaman daring sebanyak 3 ribu orang. Hampir semua kasus yang dilaporkan korban tidak ditindaklanjuti oleh kepolisian. Kepolisian juga kerap menolak laporan korban kekerasan seksual, kekerasan dalam pacaran, dan kekerasan dalam rumah tangga.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait