LBH Jakarta: TNI Pelaku Pembunuhan di Luar Hukum Harus Diadili di Pengadilan Umum
Terbaru

LBH Jakarta: TNI Pelaku Pembunuhan di Luar Hukum Harus Diadili di Pengadilan Umum

Sebagaimana diatur dalam Pasal 65 ayat (2) UU No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Pembunuhan dan mutilasi terhadap 4 warga Mimika, Papua menuai kecaman dari berbagai kalangan, terutama masyarakat sipil. Direktur LBH Jakarta, Arif Maulana, mengatakan lembaganya mengecam sekaligus mengutuk keras kasus pembunuhan dan mutilasi yang dilakukan 6 anggota TNI dan 3 sipil tersebut. Itu merupakan kejahatan yang sangat kejam dan biadab.

“Peristiwa tersebut Adalah bentuk Pelanggaran Hak untuk Hidup berdasarkan instrumen hukum dan hak asasi manusia (HAM) Nasional dan Internasional,” katanya di Jakarta, Rabu (31/8/2022).

Arif mencatat sedikitnya 4 hal dalam perkara itu. Pertama, tindakan yang dilakukan 6 anggota TNI tersebut merupakan tindak pidana umum, sehingga harus diproses di peradilan umum sebagaimana diatur dalam Pasal 65 ayat (2) UU No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Ketentuan itu berbunyi “Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang.”

Baca Juga:

Ketentuan itu diperkuat pasal 3 ayat (4) a TAP MPR No. VII/2000 tentang Peran TNI dan Polri. Arif mendesak semuanya harus diproses dan diadili melalui peradilan yang adil, bebas dan tidak memihak. Semua proses harus transparan sehingga dapat dipantau publik dan memastikan pemenuhan hak atas kebenaran dan keadilan bagi korban dan keluarganya serta mencegah terjadinya impunitas.

Kedua, proses pengungkapan kebenaran peristiwa pembunuhan 4 warga Papua ini juga harus melibatkan dan memastikan akses kepada Lembaga Negara Independen seperti Komnas HAM. Jika diperlukan pemerintah dapat membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden untuk memastikan semua proses berjalan dengan secara transparan dan akuntabel.

Ketiga, Arif mengingatkan ini bukan kali pertama kekerasan oleh aparat terhadap masyarakat sipil di Papua. Peristiwa serupa terus terjadi secara berulang. Misalnya kasus pembunuhan pendeta Yeremia, dan penyiksaan penyandang disabilitas oleh anggota TNI AU. Ditambah lagi kasus pelanggaran HAM berat di Papua seperti Biak (Juli 1998), Wasior (Juni 2001), Wamena (April 2003), Universitas Cenderawasih Jayapura (Maret 2006), dan Paniai (Desember 2014).

Menurut Arif, pelanggaran HAM di Papua yang terus terjadi merupakan dampak dari operasi militer yang dilakukan secara ilegal. Operasi untuk perang atau bukan harus berdasarkan keputusan politik negara berdasarkan ketetapan presiden setelah berkonsultasi dengan DPR RI. Hal itu sebagaimana Pasal 7 ayat (3) UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI.

Keempat, tragedi kemanusiaan di Papua harus menjadi perhatian serius pemerintah dan DPR untuk melanjutkan reformasi peradilan militer. UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer harus direvisi karena selama ini menjadi biang segala bentuk impunitas kejahatan yang dilakukan TNI.

“Langkah tersebut merupakan bentuk dari reformasi akses atas keadilan di Indonesia,” imbuhnya.

Tags:

Berita Terkait