Menyoal Perma 4/2019 Sebagai Dasar Menolak Legal Standing Permohonan Pailit
Kolom

Menyoal Perma 4/2019 Sebagai Dasar Menolak Legal Standing Permohonan Pailit

Ke depannya UU Kepailitan perlu diamandemen atau direvisi antara lain dengan membatasi minimum nilai utang sebagai legal standing dalam mengajukan permohonan pailit dan PKPU.

Bacaan 7 Menit

Akibatnya penyelesaian perkara sederhana yang nilai objek gugatannya kecil tetap memerlukan waktu yang lama (karena ada mekanisme upaya banding ke Pengadilan Tinggi, dan kasasi serta peninjauan kembali ke MA, yang dapat memakan waktu sampai lebih dari 5 tahun untuk dapat dieksekusi), menyebabkan pencari keadilan frustasi. MA juga kewalahan menangani besarnya tunggakan perkara karena harus tersita waktu, tenaga dan pikirannya memeriksa serta memutus perkara yang sebenarnya sederhana.

Atas dasar itu, MA menerbitkan Perma No. 2 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana, yang memberikan batasan nilai gugatan materiil sebesar maksimum Rp200 juta dan kemudian direvisi dengan Perma 4/2019 yang memberikan batasan nilai gugatan materiil menjadi sebesar Rp500 juta dan tidak mengenal upaya hukum banding, kasasi dan peninjauan kembali, guna mengisi kekosongan hukum dan sebagai pelengkap hukum acara perdata yang hingga saat ini belum terkodifikasi dalam bentuk UU.

UU Kepailitan berisikan hukum formil yang didasarkan pada hukum acara perdata dan hukum materiil yang telah lengkap, jelas dan tegas serta tidak ada kekosongan hukum yang perlu dilengkapi oleh Perma guna memperlancar jalannya persidangan. Apabila permohonan pailit yang diajukan telah memenuhi syarat formil dan materiil, maka hakim dilarang memberikan batasan jumlah nilai utang sebagai dasar pengajuan permohonan kepailitan, sebab UU Kepailitan tidak memberikan batasan jumlah nilai nominal utang.

Mekanisme Penyelesaian Sengketa

Perma No. 4 Tahun 2019 bertujuan agar sengketa perdata yang umumnya masalah utang piutang diselesaikan secara cepat dalam waktu 25 hari kerja sejak hari sidang pertama dan diharapkan mudah dieksekusi. Bahkan dimungkinkan bagi hakim untuk memerintahkan peletakan sita jaminan atas benda milik tergugat dan/atau milik penggugat yang ada dalam penguasaan tergugat. Dalam konteks ini, debitor diharapkan masih dapat melunasi utangnya dari kegiatan usahanya.

Tujuan kepailitan berdasarkan UU Kepailitan adalah pembagian kekayaan debitor oleh kurator kepada semua kreditor dengan memperhatikan hak mereka masing-masing (Fred B.G. Tumbuan, 2017). Sementara Susanti Adi Nugroho (2018) menyebutkan: “…apabila debitor tidak mungkin lagi diharapkan untuk dapat melunasi utangnya dari kegiatan usahanya (yaitu first way out dari pelunasan kredit itu), maka sumber pelunasan alternatif bagi para kreditor adalah harta kekayaan debitor (second way out dari pelunasan kredit itu) dengan cara melikuidasi harta kekayaan itu…”. Ahli hukum kepailitan yang lain, M. Hadi Shubhan (2008) menyebutkan: “…kepailitan adalahpranata likuidasi yang cepat terhadap kondisi keuangan debitor yang tidak mampu melakukan pembayaran utang-utangnya kepada para kreditornya.

Putusan No. 37 mengabaikan fakta bahwa baik kreditor dan debitor sesungguhnya menyetujui penyelesaian kepailitan ditempuh guna melunasi kewajiban debitor terhadap para kreditornya, dengan mekanisme perdamaian sebagaimana diatur dalam Pasal 144 – Pasal 177 UU Kepailitan. Perdamaian dalam kepailitan dapat berisi beberapa kemungkinan, seperti debitor pailit dengan bantuan dari pemegang saham menawarkan kepada para kreditornya untuk membayar sesuatu persentase dan bila tidak cukup dianggap lunas.

Kemungkinan lain, debitor pailit menyerahkan asetnya pada kurator untuk dijual dan dibagi berdasarkan persentase kepada kreditornya dan bila tidak cukup diberikan pembebasan. Tentunya, apabila perdamaian yang ditawarkan debitor pailit ditolak para kreditornya, maka demi hukum debitor pailit dalam keadaan insolven (Pasal 178 ayat (1) UU Kepailitan).

Tags:

Berita Terkait