ChatGPT dengan tanpa lawan mengawali trend platform kecerdasan buatan (Artificial Intellegent-A.I.) pada awal 2023. Chatbot (chat-robot) berbasis kecerdasan buatan yang langsung dapat diakses melalui smartphone menjadikan ChatGPT penuh sensasi karena bersifat personalisasi.
Tidak hanya pertanyaan keseharian yang mampu dijawab oleh A.I. dengan konten dan kontekstual yang akurat dan menarik, namun juga pertanyaan akademis dan teknis mampu dijelaskan dengan proporsional. Bahkan profesor hukum di University of Minnesota (Amerika Serikat) menjajal kebolehan Chatbot AI untuk menjawab soal untuk kelulusan seluruh kurikulum dan ujian hukum, maka nilainya mencukupi untuk mendapatkan gelar sarjana hukum.
Apakah kemudian ChatGPT sanggup pula menjelma sebagai advokat virtual atau hakim digital? Bagaimana A.I. mampu menjadi inovasi, kolaborasi, dan akselerasi pendidikan dan profesi hukum?
Baca juga:
- Robot Pengacara: Semakin Dekat Menuju Masa Depan Hukum Tanpa Lawyer?
- Pertama di Dunia, “Robot Lawyer” Penasihat Hukum Terdakwa di Persidangan AS
- Di Era Industri 4.0 Lawyer Berkompetisi Sengit dengan Robot
Kita dihadapkan tantangan etika baru dan perlunya penyesuaian norma legislasi serta regulasi penyelenggaraan pendidikan dan profesi hukum terhadap pemanfaatan Revolusi Industri 4.0 khususnya kecerdasan buatan (A.I.) di Indonesia. Kemudahan dan kenyamanan dalam personalisasi atas aplikasi A.I membuatnya menjadi pandemi virtual di masyarakat.
Klaus Schwab, yang juga pendiri World Economic Forum (WEF), mempercayai bahwa era Revolusi Industri 4.0 dibangun di sekitar “cyber-physical systems” dengan tanpa batasan fisikal, digital dan biologikal (Klaus Schwab, Fourth Industrial Revolution, 2017). Sehingga tentunya diperlukan artikulasi ulang dari penyelenggaraan pendidikan dan profesi hukum di Indonesia.
Human Intelligence vs. Artificial Intelligence
ChatGPT sangat fenomenal dengan lompatan pengguna yang mencapai 1 juta dalam 5 hari saja, semenjak peluncuran perdananya pada November 2022. Mengalahkan media sosial dan platform teknologi populer, dimana Netflix memerlukan 3,5 tahun dan Spotify butuh waktu 5 tahun untuk mencapai 1 juta pengguna (New York Times, January 2023).