Lex Artificialis Intelligentia, Quo Vadis Pendidikan dan Profesi Hukum
Kolom

Lex Artificialis Intelligentia, Quo Vadis Pendidikan dan Profesi Hukum

Kita dihadapkan tantangan etika baru dan perlunya penyesuaian norma legislasi serta regulasi penyelenggaraan pendidikan dan profesi hukum terhadap pemanfaatan kecerdasan buatan di Indonesia.

Bacaan 7 Menit

Tentunya urgensi pemanfaatan jaringan pusat data hukum, tidak terlepas dengan sistem hukum Anglo-American yang sangat mengutamakan metode precedent atau yurisprudensi dalam praktik hukumnya. Seiring evolusi teknologi informasi maka pemanfaatan sistem informasi hukum menjadi instrumen penting dalam penyiapan strategi perkara maupun proses persidangan di pengadilan.

Aspek teknologikal dan legal terkait pemanfaatan A.I. dalam praktik hukum adalah melalui algoritma computational models of legal argument (CMLAs) dan computational models of legal reasoning (CMLRs) yang mengurai kompleksitas dan konsumsi waktu yang panjang, sehingga memberikan layanan hukum “very low cost but very high quality”. Akhirnya berujung pada pertanyaan etika dan tanggung jawab profesi hukum dalam pemanfaatan ChatGPT.

Praktisi hukum diharapkan memiliki kemampuan menyeimbangkan antara faktor Ekspresif yaitu mengungkapkan pandangan hidup, nilai-nilai budaya dan keadilan masyarakat, dengan faktor Instrumental yaitu "sarana" (tools) untuk menciptakan dan memelihara ketertiban, stabilitas dan prediktabilitas sosial yang sanggup mendorong, mengkanalisasi dan mengarahkan perubahan masyarakatnya yang masif dan akseleratif dalam dunia digital dengan pemanfaatan kecerdasan buatan.

Praktisi hukum dalam pemanfaatan platform A.I. seperti ChatGPT dilakukan dengan pendekatan A-R-E (Actions-Responsibility-Ethics) yaitu:

  1. Actions, bahwa suatu legal actions dapat lebih awal diprediksi dan diantisipasi dengan mengakses beragam substansi hukum, asas hukum, kaidah/norma (hukum positif), proses hukum, dan institusi hukum dengan lebih cepat, cermat, dan tepat melalui platform kecerdasan buatan;
  2. Responsibility, bahwa suatu legal responsibility sebagai tanggung jawab hukum dan profesi dapat dilakukan simulasi pendahuluan terhadap penanganan perkara yang kompleks dan berisiko tinggi dengan berbagai luaran opsi melalui platform kecerdasan buatan; dan
  3. Ethics, bahwa professional legal ethics sebagai konsekuensi profesi hukum advokat, notaris, jaksa, hakim, dan arbiter tetap perlu dijunjung tinggi dengan mekanisme pelindungan data pribadi dan transparansi dalam pemanfaatan platform kecerdasan buatan.

*)Dr. Danrivanto Budhijanto, S.H., LL.M in IT Law, FCBArb., FIIArb., Associate Professor in Cyberlaw, Universitas Padjadjaran serta Arbiter, Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI Arbitration Center).

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait