Lima Cacat Hukum TWK Sebagai Dasar Penonaktifan 75 Pegawai KPK
Utama

Lima Cacat Hukum TWK Sebagai Dasar Penonaktifan 75 Pegawai KPK

Presiden meminta pimpinan KPK, Menpan RB, dan Kepala BKN untuk merancang tindak lanjut bagi 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lulus tes.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 5 Menit
Aktivis Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi menggelar unjuk rasa di depan Gedung KPK, Jumat (7/5/2021) lalu. Mereka meminta Ketua KPK Firli Bahuri mengikuti tes wawasan kebangsaan versi antikorupsi.
Aktivis Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi menggelar unjuk rasa di depan Gedung KPK, Jumat (7/5/2021) lalu. Mereka meminta Ketua KPK Firli Bahuri mengikuti tes wawasan kebangsaan versi antikorupsi.

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menilai pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk merancang tindak lanjut nasib 75 pegawai KPK yang tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) tidak serta merta membuat permasalahan ini menjadi terang-benderang. Sebab, seolah yang bermasalah adalah 75 pegawai KPK tersebut, sehingga mereka perlu mendapatkan pendidikan lanjutan mengenai wawasan kebangsaaan.

“Padahal pada hakekatnya yang bermasalah adalah materi TWK itu sendiri dengan semua pertanyaan yang tidak sesuai dengan konteks kepegawaian KPK,” ujar Peneliti PSHK Agil Oktaryal saat dikonfirmasi, Senin (17/5/2021) malam. (Baca Juga: Desakan Pembatalan Penonaktifan 75 Pegawai KPK Terus Mengalir)

Seperti diketahui, pengumuman hasil TWK pada 5 Mei 2021 menyatakan dari 1.351 pegawai KPK yang mengikuti TWK. Tapi, hanya ada 1.274 orang pegawai yang memenuhi syarat, sedangkan 75 orang pegawai tidak memenuhi syarat (TMS).

PSHK juga menyoroti adanya permasalahan mendasar dengan penggunaan TWK secara tertib peraturan perundang-undangan terkait alih fungsi pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). PSHK menemukan 5 cacat hukum dalam proses alih status pegawai KPK. Pertama, syarat lolos tidaknya pegawai KPK menjadi ASN seharusnya bukan berlandaskan pada hasil TWK. Dasar hukum persyaratan alih status kepegawaian KPK berdasarkan UU No. 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua UU KPK (UU 19/2019), khususnya Pasal 69C dan PP No. 41 Tahun 2020 Tentang Alih Status Pegawai KPK, Pasal 3 dan Pasal 4.  

Menurut Agil, PP 41/2020 haruslah diposisikan sebagai lex specialis dalam penyusunan regulasi kepegawaian KPK. Karena itu, munculnya pelaksanaan TWK berdasarkan Pasal 5 ayat (4) Perkom KPK No. 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK menjadi Pegawai ASN menjadi tidak berdasar karena tidak pernah dipersyaratkan dalam PP tersebut. Selain proses bermasalah, konteks substansi TWK juga cacat karena basis penilaiannya dari pertanyaan yang irasional, misoginis, diskriminatif dan tidak berhubungan dengan tugas, pokok, dan fungsi pegawai dalam menjalankan mandatnya di KPK.

Kedua, status non-aktif bagi 75 pegawai KPK yang tidak lolos TWK melanggar Putusan MK No. 70/PUU-XVIII/2019. Putusan ini menyebut pengalihan status pegawai KPK menjadi pegawai ASN dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepastian hukum sesuai dengan kondisi faktual pegawai KPK. Maka, dalam pengalihan tersebut tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN dengan alasan apapun di luar desain yang telah ditentukan dalam UU KPK.

Adapun rencana tindak lanjut sebagaimana disampaikan Presiden Joko Wudodo berupa pembinaan dalam bentuk pendidikan kedinasan tentang wawasan kebangsaan merupakan bentuk pewajaran atau normalisasi dari penggunaan TWK untuk menyaring SDM KPK. Padahal jelas konteks TWK yang digunakan untuk alih fungsi SDM KPK tidak memenuhi kaidah peraturan perundang-undangan.

Tags:

Berita Terkait