Lima Catatan Kritis LBH Jakarta di Hari Pers Nasional 2021
Berita

Lima Catatan Kritis LBH Jakarta di Hari Pers Nasional 2021

Peran pers sebagai pilar demokrasi keempat harus konsisten dalam menjaga kekritisan terhadap berbagai bentuk ketidakadilan.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Sejumlah awak media baik cetak maupun elektronik/online saat menjalankan tugas jurnalisme. Foto: RES (ilustrasi)
Sejumlah awak media baik cetak maupun elektronik/online saat menjalankan tugas jurnalisme. Foto: RES (ilustrasi)

Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Nelson Nikodemus Simamora menilai peringatan HPN 2021 justru diwarnai memburuknya kondisi kemerdekaan Pers dalam beberapa waktu terakhir. Padahal, kemerdekaan pers sudah diatur dan dijamin serta dilindungi UUD Tahun 1945 dan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, serta Kovenan Internasional Sipil dan Politik.

Dia menilai merujuk Penjelasan Pasal 4 ayat (1) dan (2) dalam UU Pers menyebutkan, “bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara dan pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran”. Namun realitas di lapangan terjadi lima hal berkaitan dengan pembungkaman pers. (Baca Juga: Regulasi ‘Publisher Rights’ Butuh Intervensi Negara)

1. Kekerasan dan kriminalisasi jurnalis

Kekerasan negara terhadap jurnalis melalui aparat kepolisian terjadi pada saat pengamanan demonstrasi yang berimbas ke pekerja jurnalis, khususnya dalam aksi penolakan terhadap RUU Cipta Kerja tahun 2020. Menurutnya, kasus kekerasan masih terbilang tinggi. Mulai perampasan alat hingga pemidanaan.

Dalam periode satu tahun ini, setidaknya ada 53 kasus kekerasan. Jumlah itu lebih banyak dibandingkan kasus kekerasan pada periode yang sama tahun lalu sebanyak 42 kasus. Jenis kekerasan terbanyak kekerasan fisik (18 kasus), perusakan alat atau data hasil liputan (14 kasus), ancaman kekerasan atau teror (8 kasus).

2. Serangan buzzer dan peretasan situs berita media

Periode 2019, situs berita media Tempo menjadi korban peretasan, saat gencar memberitakan kritik warga mengenai RUU Komisi Pemberantasan Korupsi. Laman berita Tempo mendapat serangan buzzer dan robot siber. Selanjutnya pada 2020, laman situs berita Tempoo.co kembali diretas orang tak dikenal. Pasalnya pemberitaan Tempo mengkritik pemerintah. Peretasan terhadap situs berita Tempo setidaknya menjadi upaya pembungkaman kemerdekaan pers, hanya lantaran mengkritik pemerintah.

3. Pembatasan liputan pers

Periode 2019, pemerintah melakukan pemblokiran dan pelambatan (throttling) akses internet di Papua. Kebijakan tersebut berupa pembatasan yang tidak sah menurut hukum dan HAM. Hal itu berdampak pada akses jurnalis terhadap pemberitaan. Pendek cerita, kebijakan tersebut dinilai perbuatan melanggar hukum oleh oleh putusan PTUN Jakarta.

Tak hanya itu, pada 2020 Kapolti Jenderal Idham Aziz menerbitkan Maklumat Kapolri Nomor : 2/III/2020 tentang Kepatuhan terhadap Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Penyebaran Virus Covid-19. Intinya mengatur kebebasan berkumpul warga dan sudah tentu menyulitkan kerja liputan pekerja jurnalis.

Tags:

Berita Terkait