Lima Langkah Penataan Regulasi untuk Pemerintahan Jokowi Jilid II
Utama

Lima Langkah Penataan Regulasi untuk Pemerintahan Jokowi Jilid II

Mulai memberi ruang partisipasi publik, penyusunan Prolegnas, omnibus law tidak terpaku pada sektor ekonomi, revisi UU 15 Tahun 2019 secara menyeluruh, hingga pembentukan lembaga legislasi pemerintahan.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Kiri ke kanan: Fajri Nursyamsi, Gita Putri Damayana, Ronald Rofiandri. Foto: AID
Kiri ke kanan: Fajri Nursyamsi, Gita Putri Damayana, Ronald Rofiandri. Foto: AID

Legislasi atau proses pembentukan peraturan perundang-undangan pada masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo periode pertama meninggalkan sejumlah pekerjaan rumah (PR). Mulai jumlah regulasi/peraturan yang terus menggunung, substansinya tumpang tindih, menurunnya tingkat partisipasi publik, hingga janji reformasi kelembagaan untuk mengatasi penataan regulasi tak kunjung terealisasi.

 

Penelitian Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menunjukkan kurun waktu Oktober 2014 s.d. Oktober 2018 ada total 8.945 regulasi yang dibentuk di tingkat nasional meliputi Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Menteri. Apabila dirata-rata, 6 regulasi lahir setiap hari di Indonesia. Sektor ini dinilai menjadi catatan merah rapor legislasi Presiden Jokowi di periode 2014–2019.

 

Kalau kondisinya seperti ini apakah mempermudah pemerintahan atau malah memperumit. Ini justru menimbulkan kesulitan di kalangan pengusaha. Pekerjaan rumah itu harus terselesaikan di Pemerintahan Jokowi Periode II dengan kabinet barunya,” ujar Peneliti PSHK Ronald Rofiandri dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (30/10/2019). Baca Juga: PSHK: Pemerintahan Jokowi II, Hukum Sekedar ‘Pelumas’ Investasi

 

Ronald menilai agenda reformasi regulasi dalam Pemerintahan Jokowi periode II seolah hanya omnibus law (menyederhanakan peraturan) yang diarahkan pada pemberdayaan sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta penciptaan lapangan kerja baru. Padahal, ruang lingkup penataan regulasi sangat luas meliputi pula pemajuan-perlindungan HAM dan lingkungan hidup.   

 

“Yang dilakukan Presiden Jokowi seharusnya tidak hanya omnibus law, tapi harus ke hal-hal lain. Karena itu, reformasi regulasi harus dikedepankan terutama dalam menyusun agenda Prolegnas 2019-2024 yang realistis dan terukur. Ini harus diseriuskan dengan pembentukan Badan Legislasi Pemerintahan,” saran Ronald.   

 

Menurut Ronald, akhir masa jabatan Presiden Jokowi periode pertama telah menjadi cermin buruknya proses pembentukan regulasi karena kedap dari partisipasi publik dan cenderung menabrak berbagai prosedur pembentukan peraturan. Contoh konkrit proses perubahan UU KPK dan perubahan UU MD3, bagaimana ada jarak besar antara Pemerintah, DPR sebagai pembentuk UU dan publik/masyarakat dalam proses legislasi.

 

Untuk itu, PSHK mengusulkan ada 5 langkah prioritas yang harus dilakukan Presiden dalam 100 hari ke depan dalam upaya reformasi penataan regulasi. Pertama, penyusunan Prolegnas jangka menengah (5 tahun) dan Prolegnas 2020 (tahunan) usulan pemerintah yang partisipatif. Pemerintah harus membuka ruang masukan yang luas bagi masyarakat sekaligus mempublikasikan berbagai data dan informasi pendukung, terutama tahapan penyusunan Prolegnas kepada masyarakat.

Tags:

Berita Terkait