LPSK Kritisi Penerapan Justice Collaborator dalam Tuntutan Richard Eliezer
Terbaru

LPSK Kritisi Penerapan Justice Collaborator dalam Tuntutan Richard Eliezer

LPSK menilai JPU kurang memahami konsep justice collaborator yang diperlukan untuk mengungkap kasus yang pembuktiannya sulit.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 3 Menit

Secara definisi, justice collaborator merupakan individu yang berperan penting dalam membongkar suatu kejahatan dan dapat menyediakan bukti untuk menjerat pelaku utama dan tersangka lainnya dalam suatu perkara. Kedudukan seorang justice collaborator merupakan saksi sekaligus tersangka yang harus memberikan keterangan dalam persidangan. Keterangan tersebut dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.

Secara teknis justice collaborator diatur dalam SEMA No 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. SEMA itu menjadi pedoman bagi hakim dalam menjatuhkan pidana kepada justice collaborator dengan beberapa kriteria, yaitu:

  1. Yang bersangkutan merupakan pelaku tindak pidana tertentu, mengakui kejahatannya, bukan pelaku utama dan memberikan keterangan sebagai saksi dalam perkara tersebut.
  2. Jaksa Penuntut Umum telah menjelaskan dalam tuntutannya menyatakan yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang signifikan, sehingga dapat mengungkap tindak pidana tersebut.

Dalam konteks tersebut, hakim yang memeriksa perkara diminta untuk menjatuhkan putusan pidana percobaan bersyarat dan atau pidana penjara paling ringan dengan mempertimbangkan keadilan dalam masyarakat.

Sebelumnya, Komisioner LPSK Susilaningtias menyesalkan tuntutan pidana penjara 12 tahun terhadap Richard Eliezer karena ia berstatus justice collaborator. Dia menilai sebagai justice collaborator, Richard Eliezer telah menunjukan komitmen dan kosistensinya dalam memberi keterangan sepanjang persidangan, hingga akhirnya kasus ini terbuka secara terang.

Namun demikian, LPSK tetap menghormati kerja-kerja jaksa penuntut umum dalam menangani perkara tersebut. Termasuk telah bekerja sama dengan LPSK dalam mengungkap kasus-kasus lainnya termasuk perkara pembunuhan Brigadir Yoshua.

Dalam tuntutannya, Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) menilai peran terdakwa kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J), Richard Eliezer atau Bharada E, selaku eksekutor menjadi hal yang memberatkan hukumannya. Dalam persidangan ini, Richard Eliezer dituntut hukuman pidana 12 tahun penjara.

“Hal-hal yang memberatkan, terdakwa merupakan eksekutor yang mengakibatkan hilangnya nyawa korban Nofriansyah Yosua Hutabarat,” ujar Jaksa Penuntut Umum Paris Manalu saat membacakan tuntutan di hadapan Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santoso di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Rabu (18/1/2023) lalu.

Dalam persidangan, Tim Jaksa Penuntut Umum memaparkan Richard Eliezer melakukan tembakan sebanyak tiga sampai empat kali kepada Yosua setelah mendapatkan perintah dari Ferdy Sambo.

Richard Eliezer pun menyanggupi perintah Ferdy Sambo untuk menembak Yosua ketika Ferdy Sambo menanyakan kebersediaan Richard Eliezer saat mereka masih berada di rumah pribadi Ferdy Sambo di Saguling, Jakarta Selatan. Perbuatan tersebut mengakibatkan hilangnya nyawa Yosua dan menimbulkan duka terdalam bagi keluarga Yosua.

Tags:

Berita Terkait