Lukita D. Tuwo: KKSK Bisa Menerima Recovery Rate yang Dicapai BPPN
Utama

Lukita D. Tuwo: KKSK Bisa Menerima Recovery Rate yang Dicapai BPPN

'Kemilau'-nya Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) bisa jadi akan meredup dua hari mendatang, seiring dengan berakhirnya tugas mereka pada 27 Februari 2004.

Oleh:
Tri/Leo
Bacaan 2 Menit
Lukita D. Tuwo: KKSK Bisa Menerima <i>Recovery Rate</i> yang Dicapai BPPN
Hukumonline
Tapi sorotan terhadap institusi yang satu ini, bisa jadi akan terus berlangsung. Ibarat orang mati, arwah BPPN tidak akan bisa tenang karena kinerja mereka selama lima tahun akan terus jadi bahan gunjingan publik.
 
Sebagai pembayar pajak, publik tentu akan terus mempertanyakan mengapa tingkat pemulihan (recovery rate) BPPN hanya 28 persen dari ratusan triliun aset yang mereka kelola. Publik akan tetap menggunjingkan pesangon  untuk karyawan, termasuk pejabat BPPN, yang konon jumlahnya ratusan miliar. Publik pun pasti akan protes dan tidak rela bila pejabat-pejabat BPPN akan memperoleh kekebalan dan pengampunan dari tuntutan hukum, terhadap tindakan yang mereka ambil selama menjabat.

Untuk menjelaskan berbagai hal seputar pembubaran BPPN, hukumonline mewawancarai Lukita D. Tuwo, sekretaris Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK). Komite ini memang bertugas mengawasi, termasuk memberi pengarahan kepada BPPN.

Lukita yang juga menjabat Direktur Neraca Pembayaran dan Kerja Sama Ekonomi Internasional Bappenas ini menepis anggapan banyak orang bahwa kinerja BPPN memprihatinkan. "Tingkat recovery rate yang dicapai BPPN itu adalah suatu hal optimal yang bisa dicapai dalam kondisi yang kita bisa lihat semuanya," ujar peraih gelar Doktor bidang ekonomi dari University  of Illinois at Urbana Champaign ini.

Begitu juga terhadap mengenai penilaian miring terhadap jumlah pesangon karyawan BPPN yang nilainya terlalu tinggi, Lukita mengatakan bahwa pesangon yang diterima karyawan BPPN sudah sesuai dengan peraturan yang ada. "Kalau ada yang mempertanyakan mengapa jumlahnya besar, itu karena basisnya (gaji pokok) memang besar," cetusnya. 

Dalam perbincangan dengan hukumonline Jum'at pekan lalu (20/02) di ruang kerjanya, lantai 33 Gedung Aetna Life Jalan Sudirman Jakarta, pria kelahiran Bandung 25 September 1961, itu menjelaskan panjang lebar soal pembubaran BPPN, termasuk evaluasi kinerja lembaga itu selama lima tahun beroperasi. Berikut petikannya:

Menjelang masa penutupan, bagaimana penilaian KKSK terhadap kinerja BPPN selama ini?

Kami melihat tugas BPPN yang utama itu ada tiga. Pertama, pengelolaan aset termasuk di dalamnya restrukturisasi hutang perusahaan. Kedua, penyehatan perbankan. Ketiga, pengembalian uang negara, dan tambahan, keempat, adalah mengenai penjaminan.

Jadi saya melihat dalam kondisi sekarang, memang belum ada pernyataan resmi yang mengatakan bahwa BPPN sudah mencapai suatu hasil. Tetapi kami melihat begini, dari sisi pengembalian uang negara, banyak kalangan yang menilai bahwa tingkat recovery rate yang diumumkan BPPN sekitar 28 persen, ada pihak yang mengatakan rendah dan ada pihak yang mengatakan cukup.

Kami dari KKSK memang bisa menerima tingkat recovery yang dicapai BPPN itu adalah suatu hal optimal yang bisa dicapai dalam kondisi yang kita bisa lihat semuanya. Pertama, kondisi aset yang diserahkan ke BPPN. Kedua, situasi perekonomian sendiri yang pada awal-awal (krisis,red). Ketiga, masalah legal di kami, yang dalam banyak hal harus diakui kurang mendukung penegakkan hukum cepat sehingga para obligor tersebut lebih mau mematuhi. Dan keempat, kondisi administrasi  waktu penyerahan banyak aset yang memang dokumen pendukung kurang lengkap.

Dengan memperhatikan kondisi negara yang seperti itu maka recovery sekitar 28 persen memang bisa kami anggap berhasil. Tetapi jika dibandingkan dengan Propenas sebesar 70 persen itu sangat sulit. "Saya tahu persis ketika pembahasan Propenas, Pemerintah ketika itu zamannya Pak Rizal Ramli (Menko Ekuin saat itu, red) angka 70 persen itu sangat sulit untuk dicapai. Makanya, ketika itu kami sangat berdebat keras ketika dimintakan 70 persen.

Kemudian kalau dilihat dari sisi perbaikan perbankan, kami melihat dalam dua tahun terakhir setelah dilakukannya divestasi, sebetulnya banyak sekali yang mendukung perbaikan kinerja bank-bank tersebut. Contohnya Bank Danamon, Bank Niaga, dan BII yang ketika dilepas sudah dalam keadaan lebih baik. Satu lagi adalah Bank Permata, yang tahun lalu merger, dan tahun ini sudah memperlihatkan posisi yang sudah cukup baik. Sehingga dapat kita lihat pada masa dua tahun terakhir ini proses divestasi telah dilakukan baik dengan mekanisme secara terbuka. Dan pihak di luar seperti IMF melihat proses divestasi yang telah dilakukan BPPN itu dianggap berhasil.

Bagaimana dengan target penjualan aset yang telah dilakukan BPPN?

KKSK tidak pernah meminta suatu target tertentu atau angka tertentu yang harus dicapai BPPN. KKSK hanya memberikan kebijakan restrukturisasi, lalu bagaimana penjualan itu harus dilakukan. Artinya, mekanismenya harus dilakukan dengan mekanisme lelang secara terbuka. Itu merupakan hal yang telah ditetapkan oleh KKSK. Proses penjualannya sendiri secara umum telah dilakukan oleh BPPN. Nah untuk penjualan aset yang mencapai Rp 1 triliun memang harus memperoleh persetujuan Menteri Negara BUMN. Untuk di bawah Rp1 trilun, BPPN bisa melakukan penjualan sendiri.

KKSK dalam hal ini  hanya memberikan kebijakan umum dalam penjualan. Jadi misalnya, mekanisme lelang terbuka, lalu untuk penjualan aset-aset yang sifatnya strategis maka dilakukan mekanisme tertentu. Kriterianya harus dengan legal adviser dan financial adviser yang ditunjuk sebelum melakukan penjualan. Nah setelah penjualan, BPPN melaporkan ke KKSK. Ini sifatnya hanya melaporkan bahwa penjualan itu telah dilakukan dengan mekanisme lelang kemudian hasilnya seperti ini. Misalnya properti, selalu menghasilkan nilai yang lebih tinggi. Biasanya recovery ratenya di atas 100 persen, malah bisa mencapai 120 sampai 130 persen.

Kalau aset yang berupa kredit, ini sangat tergantung kepada kondisi kreditnya sendiri, apakah sudah di-restructure atau belum. Kalaupun sudah di-restructure belum tentu menghasilkan penjualan yang baik. Contohnya Chandra Asri (PT. Chandra Asri Petrochemical Centre, red), dimana restrukturisasi memang berjalan, tetapi hasil yang diperoleh BPPN memang relatif  kurang baik. Recovery rate-nya hanya enam persen.

Ada penjualan aset kredit yang berhasil setelah restrukturisasi?

Restrukturisasi yang dianggap baik oleh KKSK adalah restrukturisasi hutang Asia Pulp & Paper (APP). Dan itu melibatkan banyak kreditur yang sangat aktif, dari Jepang dan negara-negara Eropa. Recovery-nya mencapai 44 persen. Sementara Texmaco, kami melihat meskipun asetnya sudah direstrukturisasi seperti itu, tetap tidak berjalan, karena mereka meminta modal kerja. Mereka (Texmaco,red) meminta modal kerja disediakan dari BPPN. Kami jelaskan BPPN tidak bisa memberikan itu, karena BPPN adalah kreditur. BPPN memang pernah memberikan suatu penjaminan untuk pembukaan L/C tetapi kemudian itu macet. Itulah kenapa akhirnya Texmaco meski sudah ditawarkan beberapa kali pembelinya selalu memberikan harga di bawah yang ditawarkan BPPN. Jadi memang banyak hal yang menentukan keadaan recovery rate dari penjualan aset-aset BPPN.

Apakah KKSK sering mempertanyakan soal rendahnya penjualan aset yang dilakukan BPPN?

Waktu itu soal Chandra Asri, kami sempat bertanya mengapa jumlahnya kecil sekali. Lalu kata BPPN, bahwa kondisinya adalah kemampuan terhadap pembayaran dari Chandra Asri sendiri sangat kecil. Valuasi itu seharusnya berdasarkan perkiraan cash free yang bisa dipergunakan sebagai alat pembayaran. Nah memang kalau dilihat dari hasil produksinya, relatif kecil dengan jumlah utangnya. Karena memang hutangnya terlalu besar.

Jadi, boleh dikatakan bahwa memang dahulu ada mark up (penggelembungan) ketika kredit dikucurkan ke Chandra Asri. Sehingga jumlah kreditnya jika dibandingkan dengan jumlah asetnya, terlalu besar yang harus ditanggung kreditur (BPPN). Itulah yang menyebabkan BPPN hanya mendapatkan recovery rate sebesar empat persen. Selain itu, proses restrukturisasi Chandra Asri melibatkan pihak Jepang, Marubeni. Di mana mereka sangat bersikeras dengan pola penyelesaian ala mereka.

(BPPN memiliki piutang terhadap Chandra Asri atas kredit yang diberikan tiga bank nasional yang masuk ke BPPN. Ketiga bank yang memberikan kredit ke Chandra Asri, yaitu, Bank Bumi Daya (BBD) AS$250 juta, Bank Danamon AS$420 juta dollar AS, dan Bank Dagang Negara (BDN) AS$99,7).

Kalau memang ada kekurangan terhadap aset yang diserahkan, apakah KKSK berupaya agar BPPN tetap berusaha meminta kekurangannya kepada obligor (pemilik)?

Kita harus bedakan bahwa BPPN itu ada unit untuk perbankan, ada AMK (Aset Manajemen Kredit) lalu ada lagi AMI (Aset Manajemen Investasi). Yang mereka kuasai di AMI adalah pemilikan dari aset-aset, sementara di AMK adalah hak tagih bank-bank kepada nasabah peminjam. Nah, sekali lagi yang anda tanyakan terkait dengan AMI, terkait dengan surat keterangan lunas, yang terkait dengan PKPS (Perjanjian Kewajiban Pemegang Saham) terhadap aset-aset mereka yang diserahkan ke BPPN.

Harus dilihat bahwa aset-aset itu ada yang diserahkan dengan menggunakan MSAA (Master of Settlement and Acquisition Agreement), dan MRNIA (Master of Refinancing Note Issuance Agreement), dan itu terjadi pada tahun 1998-1999 yang valuasinya mereka asumsikan dengan kondisi perekonomian normal. Padahal, waktu itu dalam puncaknya krisis. Jadi, bisa dibayangkan bahwa valuasinya saat itu terlalu tinggi. Contoh yang paling nyata adalah Dipasena. Waktu itu valuasinya nilainya Rp19,7 triliun sementara sekarang nilainya jauh menurun. Tetapi itu suatu yang telah diperjanjikan oleh BPPN saat itu dan diterima sebagai alat pembayaran dari obligor tersebut.

(PT Dipasena Citra Darmaja, tambak udang yang menjadi aset konglomerat Sjamsul Nursalim di Lampung yang telah diserahkan ke BPPN pada tahun 1999. Ada tiga aset Sjamsul yang diserahkan ke BPPN, yaitu GT Petrochem, GT Tire, dan Dipasena Rp27,4 triliun. Dari jumlah itu, nilai Dipasena saat diterima BPPN, kalkulasi nilanya mencapai Rp 20 triliun. Namun, berdasarkan laporan Tim Bantuan Hukum BPPN pada 2002, nilai riil Dipasena ternyata hanya Rp 5,2 triliun. Bahkan, menurut perhitungan BPPN sendiri, kini tinggal sekitar Rp 4 triliun).

Lalu terhadap kurangnya nilai aset yang diserahkan obligor, apakah bisa diterima KKSK?

Saya melihat  bahwa anggota KKSK itu latar belakangnya bisnis dan ekonomi. Pak Dorodjatun (Menko Ekuin) adalah seorang ekonom, Pak Boediono (Menkeu), seorang ekonom. Sementara Pak Laksamana (Meneg BUMN) dan Bu Rini Soewandi (Menperindag) dari kalangan bankir dan pengusaha yang tentu tahu terhadap kondisi-kondisi yang dihadapi BPPN. Begitu juga Pak Kwik (Ketua Bapennas) yang seorang ekonom. Tentu mereka sangat tahu persis kondisi tersebut.

Yang sulit memang adalah kami diikat dengan perjanjian pada masa lalu yang merugikan (MSAA dan MRNIA, red). Maka beberapa kali Pak Kwik dan pada masanya Pak Rizal Ramli (Menko Perekonomian) berusaha melakukan perubahan terhadap perjanjian tersebut. Karena begini, MSAA ini perjanjian hutang yang diselesaikan dengan aset. Artinya, kalau nilai asetnya drop  maka terjadi ketimpangan yang besar antara utang dengan nilai asetnya. Tetapi itu tidak tidak bisa dirubah lagi, karena kami sudah menerima penyelesaian hutang itu dengan aset mereka.

Kalau APU (Akta Pengakuan Utang, red) itu lain. APU itu hutang dibayar dengan cash. Jadi tingkat pengembalian utang di APU penyelesaiannya bisa mencapai 100 persen. Karena kita mau mereka membayar dengan cash, kemudian kalau mereka mau membayar dengan aset harus dijual dulu dan hasilnya baru diserahkan ke kami. Ini kami lakukan karena kita pernah mengalami kejadian seperti MSAA 1998-1999. Kalau penyelesaian APU hampir 100 persen, karena struktur perjanjiannya lebih baik.

Sejauh ini total hutang penyelesaian melalui MRNIA dan MSAA berapa persen nilainya dibandingkan dengan APU?

MSAA dan MRNIA mungkin mencapai 90 persen dari seluruh perjanjian pemegang saham (obligor) yang totalnya mencapai Rp130 triliun.

Kembali ke masalah recovrry rate yang hanya 28 persen, apakah itu sudah dikurangi biaya operasional BPPN?

Lain. Kalau yang operasional itu diperoleh dari pengelolaan dana yang ada. BPPN melakukan manajemen dana sehingga menghasilkan suatu tingkat uang tertentu yang dipergunakan. Kalau penghitungan recovery rate sekarang masih dihitung. Sampai saat ini kami masih menghitung soal PKPS. BPPN mau tutup dan banyak obligor yang mau menyelesaikannya, khususnya di APU. Ini yang pada akhirnya kita bisa firm berapa recovery ratenya yang baru bisa kita hitung setelah BPPN tutup.

Dengan keluarnya surat keterangan lunas (SKL) bagi obligor, apakah juga selesai masalah pidananya?

Surat keterangan lunas itu diberikan dalam kaitan dengan masalah perdata. Inpres No. 8 Tahun 2003 sangat jelas menyatakan bahwa obligor yang telah lunas, maka selesailah kewajiban perdatanya di BPPN. Nah bagaimana dengan pidananya? Makanya kemudian surat keterangan lunas diserahkan BPPN kepada obligor dan tembusannya diberikan kepada kejaksaan dan kepolisian. Kita melihat bahwa spirit MSAA, MRNIA dan APU sebenarnya  out of court settlement.

Dari sisi BPPN, hanya memberikan penyelesaian perdata, bahwa kewajibannya perdatanya telah selesai di BPPN. Sedangkan masalah pidananya, diserahkan kepada kepolisian dan kejaksaan untuk menilai. Mungkin saja terhadap obligor yang belum dilakukan proses di pengadilan, akan dikeluarkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan). Kalau misalnya sudah di pengadilan akan di-deponering. Kalau sudah diputuskan pengadilan, bisa saja diberikan grasi. Tetapi kan tidak semudah itu diberikan, karena BPPN hanya memberikan surat keterangan lunas, sedangkan pertimbangan pidananya tetap dari polisi dan kejaksaan.

Menjelang penutupan masih banyak obligor yang akan menyelesaikan utangnya ke BPPN?

Sebetulnya setelah 13 obligor yang telah mendapatkan persetujuan untuk mendapatkan surat keterangan lunas, ada tambahan lagi, yaitu lima di APU. Sementara saat ini ada enam APU yang sedang di verifikasi, dan dua baru akan diusulkan ke KKSK. Enam yang sedang diverifikasi itu adalah, The Tje Min (Bank Hastin), Nirwan D. Bakrie (BNN), Iwan Suhardiman (Bank Tamara), Husodo Angkosubroto (Bank Sewu), dan Thee Ning Khong (Bank Baja Internasional)

Apakah ada insentif khusus yang diberikan bagi  obligor yang mau menyelesaikan kewajibannya menjelang BPPN tutup?

Tidak. Kebijakan itu kami buat per November 2003, memang ini mereka akan menyelesaikan. Mereka kan juga lihat, perhitungan bahwa surat keterangan lunas itu diberikan semasa BPPN hidup. Inpres itu hanya menunjuk kepada BPPN. Nah kalau BPPN tidak ada, skema itu juga tidak ada. Sehingga kami melihat dengan adanya kebijakan itu (Inpres) mereka jadi mau menyelesaikan kewajibannya.

Bagaimana dengan proses penyelesaian Sjamsul Nursalim?

Sjamsul masih dalam proses verifikasi. Yang kami sedang cek adalah Financial Due Diligence (FDD). BPPN baru mengusulkan FDD nya untuk saya (KKSK) verifikasi, dan kalau FDDnya sudah selesai baru BPPN akan menyusulkan dokumen Sjamsul lainnya.

Sesuai dengan perjanjian yang sudah disepakati, Sjamsul memang telah memberikan Rp428 miliar ke BPPN yang mayoritasnya tunai (Rp250 miliar dibayar tunai). Sekarang tinggal proses verifikasinya di kami (KKSK). Apakah yang diberikan Sjamsul sesuai dengan kebijakan dan dokumen-dokumen yang kami periksa.

Lalu bagaimana terhadap pengelolaan aset maupun penyelesaian masalah hukum pasca pembubaran BPPN?

Nanti akan dibentuk Perusahaan Pengelola Aset (PPA) yang mengelola aset-aset yang sudah free and clear. Persero ini sifatnya self regulating yang kalau upaya penyelesaian sudah selesai baik restrukturisasi maupun penjualannya sudah selesai, yah tutup dengan sendirinya.

Sementara yang tidak clear akan dilakukan oleh tim pemberesan, masalah hukumnya bagaimana dan akan diselesaikan seperti apa. Beberapa juga ada mungkin ada yang diserahkan melalui Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN). Itu sementara yang saya tahu yah seperti itu. Jadi memang hanya aset-aset yang clear saja yang diserahkan PPA. Sedangkan terhadap untuk fungsi penjaminan yang selama ini dilakukan BPPN akan dibentuk Unit Pelaksana Penjaminan Pemerintah (UP3), satu unit di bawah Depkeu.

Untuk masalah hukum dan aset yang bermasalah akan dicoba diselesaikan bagaimana penyelesaiannya di tim pemberesan. Nanti juga ada tim khusus TPKH (Tim Penanganan Kasus Hukum) yang memberikan masukan mengenai masukan penyelesaian masalah hukum. Bagaimana teknis penyelesaiannya akan diusulkan ke tim pemberesan. TPKH ada di bawah tim pemberesan BPPN. Tim Pemberes akan diketuai Menko, anggotanya menteri-menteri KKSK ditambah Kejaksaan Agung, Polri, Menkeh dan Men-PAN.

Tags: