Lurus Mendayung Arus Sampai Kursi Hakim Konstitusi
Feature

Lurus Mendayung Arus Sampai Kursi Hakim Konstitusi

Perjalanan hidup Maria seperti tidak melibatkan ambisi dan target pribadi yang diletakkannya tinggi-tinggi. Mulai dari berkuliah di kampus hukum terbaik Indonesia hingga menjadi hakim konstitusi, Maria bak orang mendayung mengikuti arus. Namun, ia berhasil mendayung dengan baik hingga terus terbawa ke tempat lebih tinggi.

Oleh:
Normand Edwin Elnizar
Bacaan 9 Menit

Maria menduga Prof. Hamid seperti mendapat firasat. “Prof. Hamid bilang ‘kalau kamu di luar negeri nanti saya dengan siapa ya? Kalau begitu kita buka saja program magister di sini’,” kenang Maria. Suatu hari usai rapat koordinasi dengan pejabat-pejabat negara, Prof. Hamid memastikan Maria sanggup menjelaskan isi materinya. “Katanya ‘Menurutmu bagaimana bahasan tadi? Jadi, nanti kamu harus bisa menjelaskan bahan-bahan itu. Kamu harus berani!’. Iya deh saya sanggupi. Besoknya, pagi hari saya dapat kabar Prof. Hamid meninggal,” kenangnya.

Hukumonline.com

Melanjutkan Estafet sampai Kursi MK

Hari Jum'at, 7 Oktober 1994 pagi itu menjadi hari berkabung bagi Maria. Kepergian gurunya meninggalkan duka mendalam sekaligus tanggung jawab besar. Sejumlah kelas Ilmu Perundang-undangan yang diampu Prof. Hamid terancam tutup jika Maria menolak menggantikan. Maria mengalami dilema apalagi saat itu pun belum lulus jenjang magister hukum.

Sebab, kondisi Maria baru mulai kuliah magister. Bahkan belum ada buku teks mata kuliah Ilmu Perundang-undangan. “Ada naskah buku yang sempat dikoreksi Prof. Hamid, tapi belum diterbitkan. Tipis saja. Dekan saat itu Prof. Mardjono minta diterbitkan saja,” ujarnya. Maria mengaku menyusun naskah itu atas perintah Prof. Hamid. Buku itu kelak dikembangkan terus oleh Maria hingga menjadi buku teks kuliah rujukan.

Maria didahului para juniornya sesama dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia dalam meraih gelar profesor bidang hukum kenegaraan. Misalnya, nama besar Jimly Asshiddiqie dan Yusril Ihza Mahendra sebagai profesor yang lebih muda darinya. Maria baru meraih gelar profesor setelah tiga tahun memproses pengangkatannya. Sebuah dilema lain ia hadapi.

Ketika hari Natal Tahun 2007, Maria pernah ditelepon Kementerian Hukum dan HAM untuk tawaran menjadi Direktur Jenderal Perundang-undangan atau Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional. “Saya tidak mau karena tidak mau kehilangan proses pengajuan Guru Besar,” kata Maria. Maria sudah menikmati keriernya sebagai ilmuwan. Penolakan Maria berbuah takdir lain. Tidak lama ia diangkat Guru Besar, pada tahun 2008 Maria justru diangkat sebagai perempuan pertama yang menjabat hakim konstitusi selama periode 2008-2018.

“Saya sudah diminta mencalonkan diri sebagai hakim di Mahkamah Konstitusi (MK) sejak awal berdiri. Saya tolak,” kata Maria. Alasannya karena Maria merasa hakim terbebani kebulatan suara majelis. Ia merasa tidak leluasa bersuara berbeda. Apalagi seorang Hakim Bismar Siregar pernah manyatakan ia tidak cocok jadi hakim.

“Belakangan saya lihat bisa dissenting opinion (pendapat berbeda, red) di MK. Jadi, saya terima tawaran menjadi hakim saat periode kedua MK,” ujar Maria menjelaskan.

Sejarah hukum Indonesia selanjutnya mencatat Maria sebagai salah satu hakim konstitusi yang rajin menyampaikan dissenting opinion. Pendapatnya yang berbeda menonjol mulai dari isu-isu ketatanegaraan, pemerintahaan, pemilihan umum, hingga agama dan hukum pidana. Tidak sekadar menonjol karena berbeda, tetapi juga dinilai tinggi bobot penalarannya oleh para ahli hukum.

Pan Mohamad Faiz, Peneliti Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara MK mencatat Maria telah mengeluarkan setidaknya 20 alasan dan pendapat berbeda selama menjadi hakim. “Tak akan lahir pemikiran-pemikiran cemerlang dan pendirian yang kokoh tanpa adanya ketekunan dan kerja keras dari seorang Maria Farida Indrati,” kata Faiz saat menyimpulkan telaahnya atas kiprah Maria di Mahkamah Konstitusi.

Ketua Mahkamah Konstitusi periode kedua Mohammad Mahfud MD berpendapat yang sama. Ia tidak ragu memuji kiprah Maria selama bekerja sama sebagai hakim konstitusi.  “Pemikirannya jernih dan tajam, pendiriannya teguh tak bisa diabaikan. Semua pekerjaan dikerjakannya dengan baik dan penuh tanggung jawab,” kata Mahfud.

Tahun 2018, Maria pensiun dari MK setelah menjalani jabatan hakim konstitusi periode keduanya. Setahun setelahnya, Maria pensiun sebagai dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia tahun 2019. Ia mengaku saat ini ingin fokus mengabdi sebagai pengajar. Ia berharap generasi muda bisa menikmati diajar langsung para profesor yang sudah banyak pengalaman seperti yang didapatnya semasa kuliah dulu.

“Saya dulu kuliah dari sarjana diajar para profesor. Itu akan jadi kebanggaan juga bagi mahasiswa.”

Ibu dari tiga anak dan nenek dari dua cucu ini kini menikmati banyak waktu senggang di kediaman bilangan Radio Dalam, Jakarta Selatan. Apakah Maria masih siap menerima tugas negara di usia 73 tahun? “Nrimo ing pandum dan serviam, itu prinsip saya. Saya ingin mengabdi. Saat ini saya masih diminta mengajar di Universitas Indonesia dan Sekolah Tinggi Hukum Militer,” katanya.

Percakapan Hukumonline di ruang tamu Maria berakhir saat jam makan siang. Tim Hukumonline berpamitan. Maria mengantar Tim Hukumonline sampai gerbang rumahnya hingga kami pamit pulang. Rasanya tidak berlebihan mengatakan cita Maria menjadi guru piano rupanya terangkat jauh lebih tinggi menjadi Guru Bangsa.

Tags:

Berita Terkait