Ide penegakan hukum secara luas biasa dilatarbelekangi kegelisahan Yusuf terhadap kejahatan yang terjadi di Indonesia, terutama tindak pidana korupsi. Akibat korupsi, kekayaan alam Indonesia tak bisa dinikmati hasilnya untuk kesejahteraan rakyat. Terjeratnya puluhan kepala daerah dan pejabat negara dalam perkara korupsi menunjukkan kejahatan itu begitu massif dan sistematis dilakukan.
Korupsi, apalagi yang berkelindan dengan dengan pidana pencucian uang, telah menimbulkan penderitaan bagi masyarakat Indonesia serta menurunkan hartkat dan martabat Indonesia di mata internasional. “Maka, mau tidak mau kita harus mengambil jalan yang luar biasa (beyond the common sense) dalam penegakan hukum,” ucap pria kelahiran 18 Mei 1962 itu.
Menurut Yusuf, dalam perspektif penegakan hukum luar biasa, hukum hanya bertujuan untuk mewujudkan keadilan, kemanfaatan, atau kepastian hukum. Tujuan hukum lebih dari itu. Yang jelas, apapun tujuan hukum, haruslah diarahkan untuk kemaslahatan dan kesejahteraan manusia di dunia dan akhirat. Untuk mewujudkan ini, yang paling berperan penting adalah manusia yang bertugas menjalankan hukum. Yusuf percaya hanya manusia yang professional dan memahami nilai-nilai agamalah yang bisa diharapkan menegakkan hukum.
“Pemahaman terhadap nilai-nilai ajaran agama yang kemudian diterapkan dalam proses penegakan hukum, akan menciptakan aparat penegak hukum yang berpola pikir go beyond of the common sense,” ujar Kepala Kejaksaan Negeri Bogor 2005-2006 itu.
Reformasi-Revolusi Hukum
Menurut Yusuf, untuk mewujudkan penegakan hukum yang luar biasa, harus dilakukan reformasi bahkan revolusi terhadap sejumlah hal, baik dalam substansi hukum dan struktur hukum maupun budaya hukum.
Pada aspek substansi hukum, ada empat hal yang mendesak dilakukan. Pertama, membuat dan mengundangkan ketentuan mengenai kekayaan yang diperoleh secara tidak wajar (Illicit Enrichment), Undang-Undang Perampasan Aset, dan Undang-Undang Pembatasan Transaksi Tunai. Kedua, memasukkan ketentuan plea bargaining ke dalam hukum acara pidana dengan konsep restorative justice. (Baca: Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan dalam Hukum Indonesia).
Ketiga, menambahkan sanksi hukum bagi pelaku kejahatan luar biasa (extraordinary crime) dengan sanksi sosial (community service sentencing). Keempat, membuat ketentuan tentang penerapan reward and punishment bagi para penegak hukum.
Pada aspek struktur hukum, Yusuf mengusulkan dua langkah penting. Langkah pertama, meningkatkan kapasitas para penegak hukum dengan membentuk pribadi yang berintegritas, independen, berani dan bertanggung jawab, serta kompeten dan bisa menjadi suri teladan. Langkah kedua, melakukan revolusi mental dengan cara mengubah mindset penegak hukum, agar mereka tak semata bersandar pada ketentuan formal perundang-undangan. Mereka harus berorientasi pada terciptanya keadilan, kepastian hukum, dan kemaslahatan bagi masyarakat, baik di dunia maupun di akhirat. (Baca: Revolusi Mental Penegak Hukum Masih Lemah).
Pada aspek budaya hukum, Yusuf mengusulkan agar masyarakat tak hanya diminta tertib, tetapi juga didorong untuk kritikal terhadap segala penyimpangan yang terjadi. Pemerintah perlu terus membangun sistem pengaduan (whistle blowing system). Tentu saja, budaya hukum yang baik jika aparat pemerintah juga memberikan contoh yang baik.
“Untuk itu Pemerintah perlu mewajibkan kepada penegak hukum, birokrat untuk tertib dalam segala hal, berpola hidup sederhana serta menghindari perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji,” kata Yusuf.