MA Bakal Terbitkan Perma Pembaharuan Pelaksanaan Eksekusi Putusan
Utama

MA Bakal Terbitkan Perma Pembaharuan Pelaksanaan Eksekusi Putusan

Termasuk simplifikasi permohonan eksekusi atas hak tanggungan dan hak jaminan fidusia. Kalangan praktisi dan masyarakat sipil menyambut baik inisiatif MA yang sedang menyusun Perma Pembaruan Pelaksanaan Eksekusi Putusan.

Oleh:
Ferinda K Fachri
Bacaan 4 Menit

Ia menilai bantuan dari pengadilan untuk memerintahkan pihak yang kalah menyediakan informasi atau memberi wewenang kepada pihak yang menang untuk mencari data tersebut menjadi suatu hal yang penting. Selama ini pelaksanaan sitanya sendiri sangat bergantung kepada aparat di luar aparat peradilan.

“Kalau dari sisi pengadilan, juru sita yang memimpin, tapi dia setahu saya tidak punya wewenang menggunakan upaya paksa. Untuk itu dia perlu bantuan orang lain lagi untuk menjalankan pemaksaan itu. Saya yakin ini (Perma mengenai pembaruan pelaksanaan eksekusi) sudah ditunggu-tunggu khalayak, karena kehadiran badan peradilan lebih berat (berperan, red).”

Executive Director Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Liza Farihah, menyampaikan riset yang dilakukan LeIP. Dari hasil temuan riset LeIP tersebut terdapat 3 akar permasalahan sulitnya menjalankan eksekusi perdata di Indonesia. Pertama, minimnya dukungan legislatif dan eksekutif dalam menjamin dan memastikan kelancaran pelaksanaan eksekusi putusan perdata. Kedua, peraturan perundang-undangan saat ini tidak mendukung terlaksananya eksekusi secara efektif dan efisien.

“Saya mengapresiasi MA membuat inisiatif di tahun ini sedang menyusun rancangan Perma tentang eksekusi putusan perdata. Kebetulan LeIP juga terlibat di Pokja-nya, kalau yang kami lihat dari draf saat ini sudah baik. Karena bukan hanya mengatur bagaimana tata cara melakukan eksekusinya, tapi juga prosedur administratif eksekusi. Sampai perlu adanya tim penelaah permohonan eksekusi dulu, dan lain-lain. Harapan kami Perma ini bisa jadi panduan bagi Ketua Pengadilan,” kata Liza.

Ketiga, terkait kompetensi juru sita dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya masih lemah. “Kami menyoroti ketika juru sita mendapat tanggung jawab atau delegasi tugas dari Ketua Pengadilan atau Panitera untuk memimpin jalannya eksekusi di lapangan pada kenyataannya juru sita kompetensinya masih belum memadai. Tugasnya sangat berat, tetapi kompetensinya belum mencukupi,” ungkapnya.

Hukumonline.com

Executive Director LeIP Liza Farihah (kiri). 

Selain itu, terdapat sejumlah hambatan khusus, seperti kondisi geografis yang bermacam-macam, wilayah yang luas, hingga keterbatasan akses menjangkau wilayah-wilayah tersebut. Untuk itu, LeIP memberi sejumlah rekomendasi. Antara lain, untuk melakukan pembinaan yang intensif bagi SDM juru sita/juru sita pengganti.

Lalu, bagi DPR dan pemerintah supaya bersama-sama melakukan pembaruan terhadap UU Hukum Acara Perdata terkait eksekusi putusan. Dalam regulasi itu mengatur kompetensi juru sita mengenai penelusuran aset termohon eksekusi. Sejumlah ketentuan dalam UU Hukum Acara Perdata itu ada kewajiban memberi informasi oleh pihak yang dimintakan juru sita pengadilan berdasarkan penetapan ketua pengadilan perintah eksekusi, bila menolak maka dijatuhi denda administratif.

“Selain permasalahan dan rekomendasi ini, hal yang perlu dibahas adalah terkait desain institusi, siapa yang akan melaksanakan eksekusi perdata. Diskusi yang selama ini LeIP amati selama 4 tahun terakhir, ada usulan ketua pengadilan susah melaksanakan eksekusi. Kayaknya eksekusi jangan diberi ke pengadilan, kita bikin lembaga baru saja. Mungkin juga inspirasinya melihat contoh dari beberapa negara lain,” usulnya.

Tags:

Berita Terkait