Mafia Tanah Problem Nasional dan Dirasakan Penderitaannya oleh Rakyat
Kolom

Mafia Tanah Problem Nasional dan Dirasakan Penderitaannya oleh Rakyat

Sebagai negara hukum peran peradilan itu sangat penting dalam menghadapi kasus mafia tanah ini. Diperlukannya sinergi yang kuat dari Mahkamah Agung, Jaksa Agung, Jaksa Tinggi, Kapolri, Kapolda, DPR serta DPRD agar mafia tanah dapat diberantas.

Bacaan 6 Menit
Frans H Winarta. Foto: Istimewa
Frans H Winarta. Foto: Istimewa

Beberapa waktu yang lalu telah diangkat Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) yang baru Hadi Tjahjanto. Beliau adalah seorang mantan Panglima TNI. Harapan besar tentu ada pada beliau dari para korban “Mafia Tanah”, tetapi hal ini tidak mudah untuk dilaksanakan mengingat problem nasional ini sudah lama dihadapi rakyat Indonesia dari atas sampai ke bawah.

Harapan ini muncul karena beberapa pejabat BPN disinyalir memanipulir akta-akta tanah, berarti orang dalam turut serta atau menjadi salah satu aktor intelektual yang memprakarsai atau mengendalikan mafia tanah di Indonesia. Bukan saja mereka terlibat dan memprakarsai kejahatan ini tetapi turut serta mengendalikan mafia tanah di Indonesia yang sudah lama jadi problem nasional.

Pejabat Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) yang baru harus terus melanjutkan dengan melibatkan semua pihak yang dapat membereskan problem mafia tanah ini. Seperti keterlibatan DPR, DPRD, para penegak hukum dari mulai polisi sampai kejaksaan dan lembaga peradilan serta semua komponen masyarakat seperti akademisi dan masyarakat sipil secara umum.

Contoh-contoh yang sudah ada seperti mantan pejabat atau mantan wakil menteri dan mantan Duta Besar, yaitu Dino Patti Djalal yang pernah menjadi korban mafia tanah perlu ditelusuri dan diangkat persoalannya untuk dijadikan contoh bagaimana mafia tanah itu beroperasi ditunjang oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dan bagaimana mafia tanah digerakkan dan keterlibatan pihak-pihak tertentu. Lembaga peradilan yang selama ini bisa menjadi benteng terakhir ternyata juga terlibat dalam praktik mafia tanah.

Baca juga:

Ada kasus Peninjauan Kembali yang seharusnya menurut peraturan yang berlaku tidak boleh dilakukan kedua kali masih bisa dijadikan perkara baru dengan mendaftarkan kembali gugatan perdata dan berlanjut kepada perkara Peninjauan Kembali kedua dan seterusnya. Padahal berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia (SEMA RI) No.10 tahun 2009 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali sudah jelas kalau Peninjauan Kembali hanya boleh dilakukan satu kali.

Berikut adalah isi dari SEMA RI Nomor 10 Tahun 2009 tersebut:

  1. Permohonan peninjauan kembali dalam suatu perkara yang sama yang diajukan lebih dari satu kali baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana bertentangan dengan Undang-Undang. Oleh karena itu apabila suatu perkara diajukan permohonan Peninjauan Kembali yang kedua dan seterusnya, maka Ketua Pengadilan Tingkat Pertama dengan mengacu secara analog kepada ketentuan Pasal 45 A Undang-Undang Mahkamah Agung (Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009), agar dengan Penetapan Ketua Pengadilan Tingkat Pertama, permohonan tersebut dinyatakan tidak dapat diterima dan berkas perkaranya tidak perlu dikirim ke Mahkamah Agung;
  2. Apabila suatu obyek perkara terdapat dua atau lebih putusan peninjauan kembali yang bertentangan satu dengan yang lain baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana dan di antaranya ada yang diajukan permohonan peninjauan agar permohonan peninjauan kembali tersebut diterima dan berkas perkaranya tetap dikirimkan ke Mahkamah Agung.
Tags:

Berita Terkait