Majelis Hakim PK Djoko Tjandra Dinilai Bisa Memutus Tanpa Memperpanjang Sidang
Utama

Majelis Hakim PK Djoko Tjandra Dinilai Bisa Memutus Tanpa Memperpanjang Sidang

Majelis Hakim berpandangan bahwa tidak ada perkara PK yang diputus dalam persidangan awal.

Oleh:
Moch. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

Rizqi menilai kasus ini merupakan kunci untuk membongkar lingkaran setan dalan mega korupsi di negara ini. Djoko Tjandra menurut Rizqi merupakan pengusaha kelas kakap yang merupakan deep state di Indonesia dan salah satu donatur besar dalam setiap suksesi di Indonesia mulai dari zaman Soeharto sampai Jokowi.

“Pastinya lurah Grogol Selatan dan Karo Koordinasi dan pengawasan PPNS tidak bekerja sendiri dan pastinya dengan porsi jabatan strukturalnya kedua orang ini tidak mungkin melakukan aksi tanpa koordinasi atasan. Hal inilah yang perlu didalami sebagai kejahatan oligarki dan permufakatan jahat,” tutupnya.

Evaluasi BIN

Sementara, Indonesia Coruption Watch (ICW) menilai kasus buronnya Djoko Tjandra menjadi tamparan keras bagi penegak hukum. Kasus Djoko Tjandra menunjukkan bahwa Badan Intelijen Negara (BIN) tidak memiliki kemampuan dalam melacak keberadaan koruptor kelas kakap tersebut.

“Mulai dari masuk ke yurisdiksi Indonesia, mendapatkan paspor, membuat KTP elektronik hingga mendaftarkan Peninjauan Kembali ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat membuktikan bahwa instrumen intelijen tidak bekerja secara optimal,” tulis aktivis ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan pers yang diterima hukumonline, Selasa (28/7).

Berdasarkan catatan ICW sejak 1996-2020 terdapat 40 koruptor yang hingga saat ini masih buron. Lokasi yang teridentifikasi menjadi destinasi persembunyian koruptor di antaranya: New Guinea, Cina, Singapura, Hong Kong, Amerika Serikat dan Australia. Nilai kerugian akibat tindakan korupsi para buron tersebut pun terbilang fantastis, yakni sebesar Rp 55,8 triliun dan USD $ 105,5 juta. Lebih spesifik lagi, institusi penegak hukum yang belum mampu menangkap buronan koruptor antara lain: Kejaksaan (21 orang), Kepolisian (13 orang), dan KPK (6 orang).

Berpegang pada pengalaman sebelumnya, BIN sempat memulangkan dua buronan kasus korupsi, yakni Totok Ari Prabowo, mantan Bupati Temanggung yang ditangkap di Kamboja pada tahun 2015 lalu dan Samadikun Hartono di Cina pada tahun 2016. “Namun berbeda dengan kondisi saat ini, praktis di bawah kepemimpinan Budi Gunawan, tidak satu pun buronan korupsi mampu dideteksi oleh BIN,” ungkap Kurnia.

Kurnia menjelaskan pada bagian penjelasan Undang-Undang No.17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara telah mendefinisikan bentuk ancaman yang menjadi tanggung jawab kelembagaan BIN, salah satunya adalah ekonomi nasional. Sehingga mendeteksi keberadaan buronan kasus korupsi dan menginformasikan kepada penegak hukum merupakan satu dari rangkaian tugas lembaga intelejen tersebut. Terlebih lagi, Pasal 2 huruf d jo Pasal 10 ayat (1) UU a quo juga menjelaskan perihal koordinasi dan fungsi intelejen dalam negeri dan luar negeri.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait