Maju Mundur Kebijakan Pembatasan Transportasi Ojol di Masa PSBB
Berita

Maju Mundur Kebijakan Pembatasan Transportasi Ojol di Masa PSBB

Kebijakan yang tak konsisten membuat masyarakat bingung. Ada yang berharap kebijakan Kementerian Perhubungan dicabut.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Polisi mengarahkan pengendara motor yang dijadikan ojek online, pada masa PSBB di Jakarta. Foto: RES
Polisi mengarahkan pengendara motor yang dijadikan ojek online, pada masa PSBB di Jakarta. Foto: RES

Salah satu ekses Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) adalah membatasi pengangkutan orang pada moda transportasi ojek online (ojol). Semula, ojol hanya diperkenankan mengangkut barang seperti pesanan makanan. Tetapi kini, kebijakan itu berubah setelah Menteri Perhubungan menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No. 18 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi dalam Rangka Pengendalian Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk Pencegahan Coronavirus Disease 2019 (Covid-2019).

Perubahan kebijakan di internal pemerintah itu menimbulkan polemik di masyarakat. Di satu ada pejabat pemerintah yang berusaha melarang dan membatasi guna mencegah penyebaran Covid-19; di sisi lain ada kebijakan memperbolehkan ojol mengangkut menumpang. Semangat Permenhub yang dibuat Menhub ad-interim itu sebenarnya adalah membatasi penggunaan sepeda motor berbasis aplikasi, sekadar untuk angkutan barang, sebagaimana disebut dalam Pasal 11 huruf c. Namun ada pengecualian lagi dalam huruf d pasal yang sama.

(Baca juga: Tips Bagi Konsumen untuk Bertransaksi di Saat Pandemi).

Permenhub No. 18 Tahun 2020 menegaskan bahwa “dalam hal tertentu untuk tujuan melayani kepentingan masyarakat dan untuk kepentingan pribadi, sepeda motor dapat mengangkut penumpang dengan ketentuan harus memenuhi protokol kesehatan sebagai berikut: 1. aktivitas lain yang diperbolehkan selama Pembatasan Sosial Berskala Besar; 2. melakukan disinfeksi kendaraan dan perlengkapan sebelum dan setelah selesai digunakan; 3. menggunakan masker dan sarung tangan; dan 4. tidak berkendara jika sedang mengalami suhu badan di atas normal atau sakit”.

Kebijakan terbaru ini berseberangan dengan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 9 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19 yang sudah lebih dulu terbit. Dalam Pasal 15 Permenkes itu dinyatakan bahwa ojek daring hanya boleh beroperasi mengangkut barang, bukan orang. Rumusan senada ada dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Pasal 18 Pergub DKI Jakarta menyebutkan angkutan roda dua berbasis aplikasi (ojek online) dibatasi penggunaannya hanya untuk pengangkutan barang.

Bingungkan masyarakat

Dosen Hukum Tata Negara Universitas Andalas Charles Simabura menyatakan perbedaan ini timbul karena pendekatan yang dilakukan untuk menanggulangi Covid-19 ini bersifat sektoral. Masing-masing menteri atau pejabat merasa bertanggung jawab dengan bidangnya sendiri sehingga dapat menimbulkan kebingungan masyarakat aturan mana yang harus ditaati.

“Akibatnya, masyarakat bingung, dan harus diselesaikan oleh Presiden. Permen memiliki kedudukan sama, bisa ambil salah satu ini yang aneh jadinya,” ujar pria yang juga peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) ini.

(Baca juga: Covid-19: Regulasi Setengah Hati).

Qurrata Ayuni, Dosen Hukum Tata Negara Universitas Indonesia mempunyai pendapat senada. Menurutnya, peraturan perundangan seharusnya tidak bertentangan satu sama lain. Cuma, yang terjadi seringkali produk perundang-undangan saling tumpang tindih, bahkan sangat mungkin sama-sama tidak mengatur apa yang seharusnya diatur.

Tags:

Berita Terkait