MAKI Dukung Jaksa Agung Soal Wacana Hukuman Mati bagi Koruptor
Terbaru

MAKI Dukung Jaksa Agung Soal Wacana Hukuman Mati bagi Koruptor

Meski tidak begitu populis di kalangan aktivis HAM dan hukum positif lainnya, namun sebagai negara hukum yang berdaulat pemerintah berhak menuntut secara lebih tegas terhadap setiap kejahatan yang merugikan keuangan negara maupun masyarakat.

Oleh:
M. Agus Yozami
Bacaan 4 Menit
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin membuka kemungkinan penerapan hukuman mati bagi pelaku korupsi. Foto: RES
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin membuka kemungkinan penerapan hukuman mati bagi pelaku korupsi. Foto: RES

Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) mendukung Jaksa Agung, Burhanuddin, untuk segera membuktikan rencana penerapan tuntutan hukuman mati terhadap koruptor. MAKI menyatakan rencana atau kehendak Burhanuddin itu dapat dibuktikan pada penuntutan kasus korupsi yang sedang berjalan saat ini.

"Saya mendukung rencana jaksa agung yang akan menerapkan tuntutan hukuman mati terhadap pelaku korupsi, saya minta juga ini bukan hanya lips service atau dikata-kata saja, segera diterapkan dalam proses-proses penuntutan berikutnya," kata Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, seperti dilansir Antara, Senin (1/11).

Menurut Boyamin, rencana atau kehendak Burhanuddin itu dapat dibuktikan pada penuntutan kasus korupsi yang sedang berjalan saat ini, yakni dugaan tindak pidana korupsi Asabri di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat. (Baca: Penerapan Vonis Mati Bergantung Dakwaan Penuntut Umum)

"Sudah ada yang di depan mata proses persidangan Asabri yang sedang disidangkan Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat," kata Boyamin.

Setidaknya, kata Boyamin, ada dua orang yang memenuhi syarat untuk ditutup hukuman mati, yakni Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat, sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu ada pengulangan.

"Karena, sebelumnya dua orang tersebut sudah melakukan korupsi di kasus Jiwasraya, sekarang terlibat korupsi di Asabri," kata Boyamin.

Ia menegaskan, hukuman mati terhadap koruptor tidak hanya dalam keadaan bencana saja, tapi juga karena pengulangan. Atau yang bersangkutan mengulangi perbuatan tindak pidana korupsinya.

"Maka ini saya minta Jaksa Agung menerapkan kehendaknya itu tidak hanya lips service dan dilakukan tuntutan mati terhadap orang-orang yang melakukan pengulangan korupsi di Jiwasraya maupun Asabri," kata dia.

Ia menyatakan tuntutan hukuman mati terhadap koruptor ini harus tetap dilakukan Kejaksaan Agung, meskipun pada akhirnya pengadilan memutuskan berbeda. "Tuntutan itu tetap harus dilakukan, soal nanti hakim mengambilkan atau tidak setidaknya kehendak dan semangat untuk menuntut berat koruptor itu sudah dilakukan," kata dia.

Sebagaimana diketahui, Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat dijatuhi hukuman penjara seumur hidup dalam perkara korupsi PT Jiwasraya yang merugikan keuangan negara sebesar Rp16,807 triliun.

Keduanya diwajibkan membayar uang pengganti Rp10,72 triliun untuk Heru Hidayat dan Rp6 triliun untuk Benny Tjokrosaputro. Baik Benny maupun Heru juga terdakwa dalam kasus megakorupsi PT Asabri (Persero) yang merugikan keuangan negara sebesar Rp22,78 triliun.

Dalam rangka mengembalikan kerugiaan negara, Tim penyidik Kejaksaan Agung menyita sejumlah aset para terdakwa, termasuk aset Benny dan Heru. Hanya saja penyitaan terhadap aset Benny dan rekanannya, menurut pengacaranya sudah melebihi tanggungannya.

Kondisi berbeda terjadi pada terdakwa Heru Hidayat yang sampai saat ini jauh dari memadai. Padahal kerugian negara yang diakibatkan Heru jauh lebih besar dibanding terdakwa lainnya. Selain itu, Heru diduga melindungi mitranya untuk menyelamatkan sejumlah aset miliknya.

Wakil Ketua DPD, Sultan Bachtiar Najamudin, berpandangan ancaman pidana mati terkait perkara korupsi PT Jiwasraya dan PT Asabri dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat, meskipun sangat berat dan membutuhkan pertimbangan yang lebih lanjut.

“Ini terobosan hukum yang penting dalam memberikan efek jera bagi para kejahatan keuangan yang sejak lama beroperasi di negeri ini. Saya kira, ini wacana yang mampu memberikan rasa keadilan bagi masyarakat,” kata dia, dalam keterangan yang diterima Antara di Jakarta, Jumat (29/10).

Wacana hukuman mati, kata Najamudin, tidak begitu populis di kalangan aktivis hak asasi manusia (HAM) dan hukum positif lainnya. Namun, sebagai negara hukum yang berdaulat, pemerintah melalui institusi kejaksaan berhak menuntut secara lebih tegas terhadap setiap kejahatan yang merugikan keuangan negara maupun masyarakat.

“Kejahatan keuangan seperti korupsi itu kejahatan luar biasa yang sangat merugikan keuangan negara dan masyarakat,” ucap dia.

Oleh karena itu, aturan ancaman pidana mati terhadap tindak pidana korupsi dan tindak pidana ekonomi seperti kasus Jiwasraya dapat dikategorikan sebagai pidana khusus. “Sehingga, beralasan jika institusi kejaksaan mempertimbangkan wacana hukuman mati tersebut,” ujar dia.

Selain itu, di tengah kondisi fiskal dan ekonomi nasional yang sedang tidak baik-baik saja, semua pelaku tindak kejahatan keuangan yang merugikan negara dan masyarakat, harus menerima terapi kejut terutama yang berdampak luas.

Menurut dia, pidana mati tidak dilarang negara demi perlindungan masyarakat, untuk mencegah kejahatan berat, serta demi keadilan dan persatuan negara.

“Sudah cukup bangsa ini ditipu dan dizholimi oleh para perampok dan penjahat keuangan yang sejak lama melakukan perampokan terhadap keuangan masyarakat dengan modus dan motif yang sama seperti ini. Apalagi jika korbannya adalah para pensiunan TNI/Polri yang notabene berpangkat non-perwira dan masyarakat kecil,” kata dia.

Sebelumnya, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin membuka kemungkinan penerapan hukuman mati bagi pelaku korupsi sebagaimana dia katakan dalam taklimat kepada para pimpinan di lingkungan kejaksaan dalam kunjungan kerja di Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah.

"Bapak Jaksa Agung sedang mengkaji kemungkinan hukuman mati bagi koruptor," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Leonard Simanjutak, seperti dilansir Antara yang diterima di Jakarta, Kamis (28/10).

Ia menjelaskan, peluang hukuman mati bagi koruptor dibuka yang tengah dikaji Burhanuddin yakni untuk kasus seperti Asabri dan Jiwasraya. Karena, kedua kasus megakorupsi ini tidak hanya menimbulkan kerugian negara tetapi juga berdampak luas kepada masyarakat maupun prajurit.

"Perkara Jiwasraya menyangkut hak-hak orang banyak dan hak-hak pegawai dalam jaminan sosial, demikian pula perkara korupsi di Asabri terkait hak-hak seluruh prajurit di mana ada harapan besar untuk masa pensiun dan untuk masa depan keluarga mereka di hari tua," kata Simanjuntak.

Kasus korupsi ada PT Jiwasraya menimbulkan kerugian negara sebesar Rp16,8 triliun, sedangkan korupsi PT Asabri (Persero) lebih besar lagi yakni Rp22,78 triliun.

Oleh karena itu, kata dia, Burhanuddin tengah mengkaji kemungkinan penerapan hukuman mati guna memberikan rasa keadilan dalam penuntutan perkara dimaksud. Tentu harus tetap memperhatikan hukum positif yang berlaku serta nilai-nilai HAM.

Selain itu, lanjut Simanjuntak, atasannya itu juga menyampaikan kemungkinan konstruksi lain yang akan dilakukan, yaitu bagaimana mengupayakan agar hasil rampasan juga dapat bermanfaat langsung dan adanya kepastian baik terhadap kepentingan pemerintah maupun masyarakat yang terdampak korban dari kejahatan korupsi.

"Bapak Jaksa Agung menyampaikan kemungkinan bagaimana mengupayakan hasil rampasan para terdakwa juga dapat bermanfaat langsung, dan ada kepastian hukum baik terhadap kepentingan pemerintah maupun masyarakat sebagai korban kejahatan korupsi," ujar dia.

Tags:

Berita Terkait