Makna Kekhilafan Hakim atau Kekeliruan Nyata
Penelitian MA 2015:

Makna Kekhilafan Hakim atau Kekeliruan Nyata

Inkonsistensi menimbulkan ketidakpastian hukum acara perdata mengenai kasasi. Seolah-olah kasasi bukanlah upaya terakhir, melainkan PK.

Oleh:
MUHAMMAD YASIN
Bacaan 2 Menit
Gedung Mahkamah Agung. Foto: RES
Gedung Mahkamah Agung. Foto: RES
Peninjauan Kembali (PK) adalah upaya hukum luar biasa yang dikenal dalam tahapan peradilan. Para pihak yang berperkara berhak menggunakan upaya hukum ini jika suatu putusan sudah berkekuatan hukum tetap. Ada banyak alasan orang mengajukan PK, yang sering adalah bukti baru alias novum.  

Selain novum, para pihak berperkara bisa mengajukan PK dengan alasan ada kekhilafan hakim atau kekeliruan nyata. Ini diatur dalam Pasal 67 huruf f Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 jo Undang-Undang 5 Tahun 2004 jo Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (UUMA).  Berdasarkan pasal ini, permohonan PK dapat diajukan antara lain jika ‘dalam suatu putusan terdapat kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata’.

Pertanyaannya: apa yang dimaksud kekhilafan hakim dan kekeliruan nyata tersebut? Satu tim peneliti Mahkamah Agung di bawah koordinasi Djoni Witanto telah melakukan kajian terhadap masalah ini, khususnya dalam perkara perdata. Tim peneliti melakukan kajian kepustakaan, ditambah diskusi kelompok terfokus dan wawancara dengan para narasumber. Hasilnya telah dibukukan Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung tahun 2015 lalu.

Hasilnya? Mari kita simak. Tim peneliti menemukan fakta tentang inkonsistensi hakim dalam menggunakan anasir kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata sebagai dasar mengabulkan PK. Inkonsistensi terutama karena perbedaan cara menafsirkan Pasal 67 huruf f UUMA. Ada yang menghubungkan norma itu dengan norma Pasal 67 huruf a yang berbasis pada kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan. Ada juga inkonsistensi karena tumpung tindihnya alasan ketentuan kasasi dengan Pasal 67 huruf f UUMA. Menurut para peneliti, inkonsistensi menimbulkan ketidakpastian hukum acara perdata mengenai kasasi. Seolah-olah kasasi bukanlah upaya terakhir, melainkan PK.

Doktrin
Sejumlah akademisi dan praktisi sebenarnya sudah memberikan pendapat mereka mengenai anasir kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata. M. Yahya Harahap berpendapat ‘memasukkan sesuatu yang tidak memenuhi ketentuan hukum’ termasuk dalam lingkup kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata. Adami Chazawi menyebutkan ada beberapa hal atau keadaan yang masuk lingkup itu. Pertama, pertimbangan hukum putusan atau amarnya secara nyata bertentangan dengan asas-asas hukum dan norma hukum.

Kedua, amar putusan yang sama sekali tidak didukung pertimbangan hukum. Ketiga, putusan peradilan yang sesat, baik karena kesesatan fakta (feitelijke dwaling) maupun kesesatan hukumnya (dwaling omtrent het recht). Keempat, pengadilan telah melakukan penafsiran suatu norma yang secara jelas melanggar kehendak pembentuk undang-undang mengenai maksud dibentuknya norma tersebut.

Pandangan hakim
Dalam doktrin tadi, kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata cenderung dianggap sama dan dalam satu rangkaian. Berbeda halnya dengan pendapat sejumlah hakim agung dan direktur perdata yang diwawancara tim peneliti. Hakim menganggap kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata adalah dua alasan permohonan PK yang tidak identik atau berbeda penerapannya. Hakim agung Djafni Djamal, misalnya, mengatakan kekhilafan hakim itu lebih pada hukum materiil, sedangkan kekeliruan nyata lebih pada hukum acara.

Meskipun ada pendapat hakim agung dan direktur perdata, peneliti menemukan fakta bahwa belum jelas batasan kekhilafan hakim dan kekeliruan yang nyata. Seringkali keduanya ditafsirkan sama dalam pertimbangan menerima PK. Dengan kata lain, lingkupnya sangat luas, tak hanya hukum formiil tetapi juga hukum materiil. Praktik demikian bisa jadi muncul karena frasa ‘kekhilafan hakim’ dan ‘kekeliruan yang nyata’ cenderung similar alias sama arti.

Penggunaan dalam praktik
Masalahnya, penjelasan Pasal 67 huruf f tak memberikan penjelasan lebih lanjut makna kedua frasa itu. Apakah maksudnya sama atau tidak, pembentuk undang-undang, hanya menyebut ‘cukup jelas’.  Dengan menggunakan penafsiran otentik hanya diperoleh pengertian bahwa jika alasan PK atas dasar kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata hanya ditujukan terhadap putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap.

Cara lain, menggunakan penafsiran gramatika, maka diperoleh kepastian alasan mengajukan PK itu bersifat alternatif karena ada kata ‘atau’. Peneliti menegaskan frasa ‘kekhilafan hakim’ berarti yang khilaf adalah hakim. Hakim khilaf secara tidak sengaja dan cenderung tidak terlihat. Sebaliknya, ‘kekeliruan yang nyata’ berarti kesalahan atau kekeliruan itu telah nyata, terang, atau jelas terlihat.

Para pemohon PK juga menggunakan legal reasoning yang berbeda-beda ketika mendasarkan permohonannya atas dasar kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata. Pertama, pemohon yang menggunakan dasar itu secara bersamaan atau satu kesatuan dan berkaitan dengan adanya kekeliruan atau kekhilafan dalam penerapan hukum. Misalnya, putusan PK No. 8 PK/Pdt/2014. Kedua, alasan itu dipakai secara bersamaan atau satu kesatuan dan berkaitan dengan adanya kekeliruan dalam pertimbangan hukum. Misalnya, putusan MA No.41 PK/Pdt/2014. Ketiga dipakai bersamaan untuk merangkai fakta persidangan. Misalnya, putusan MA No. 715 Pk/Pdt/2011.

Selanjutnya, keempat, dipakai dalam kasus kesalahan pengetikan atau penulisan dalam putusan. Misalnya, putusan MA No. 329 PK/Pdt/2013. Kelima, menggunakan alasan-alasan lain dalam putusan hakim. Misalnya, putusan No. 156 PK/Pdt.Sus/2012.

Rekomendasi
Setelah menyimpulkan ada yang ‘tidak beres’ pada penormaan dan praktik alasan PK berupa ‘kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata, tim peneliti penelitian ini menyarankan tiga hal. Pertama, perlu diberikan batasan atau ketegasan agar penafsiran kedua frasa tidak semakin meluas sehingga menimbulkan ketidakpastian. Kedua, pembatasan bisa dilakukan dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung (Perma) mengenai ruang lingkup penerapan Pasal 67 huruf f UUMA. Ketiga, ke depan perlu dipikirkan kembali penggunanaan ‘kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata’ sebagai alasan PK. Sebab, ada yang berpendapat hanya novum yang bisa dijadikan sebagai alasan PK.

Tags:

Berita Terkait