Malaysia Terpilih Jadi Presiden AACC
Berita

Malaysia Terpilih Jadi Presiden AACC

Malaysia terpilih secara aklamasi sebagai Presiden AACC periode 2017-2019 karena sudah disepakati dalam pertemuan sebelumnya.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Para Pimpinan MK se-Asia usai menggelar rapat pemilihan Presiden AACC di Hotel Alila, Solo, Selasa (8/8). Foto: AID
Para Pimpinan MK se-Asia usai menggelar rapat pemilihan Presiden AACC di Hotel Alila, Solo, Selasa (8/8). Foto: AID
Hari ini, Selasa (8/8), rapat Board of Members Meeting (BoMM), dewan Association of Asian Constitutional Court and Equivalent Institutions (AACC) secara aklamasi memilih MK Malaysia menjadi Presiden AACC. Jabatan Presiden AACC bakal dijabat oleh Yang Mulia Rauf Sharif yang juga Presiden Mahkamah Malaysia untuk periode 2017-2019. Agenda pemilihan Presiden AACC ini dihadiri ketua MK dari 13 negara anggota yang hadir.

Presiden AACC Arief Hidayat mengatakan sudah ada hasil pemilihan Presiden AACC yang baru yakni Malaysia. Akhirnya, Malaysia menyanggupi untuk menjadi Presiden AACC periode 2017-2019. “Pembahasan pemilihan ini hanya berlangsung tiga menit. Alhamdulillah, saat ini Malaysia bersedia, tahun lalu Malaysia menolak menjadi Presiden AACC karena kondisi internal,” kata Arief di Hotel Alila, Solo, Selasa (8/8/2017).

Arif menjelaskan pemilihan Presiden AACC secara singkat ini karena sudah dibahas pertemuan sebelumnya, Senin (7/8) kemarin. Saat pertemuan itu, peserta kembali menanyakan kesediaan Malaysia untuk menjadi Presiden AACC. Jika bersedia, akan disampaikan dalam rapat terbuka 8 Agustus hari ini.

“Negara peserta tak hanya memilih Malaysia sebagai Presiden AACC, tetapi juga menyepakati kepemimpinan Kazakstan pada periode berikutnya, kemudian dilanjutkan Mongolia dan berikutnya Thailand,” ungkapnya. (Baca Juga: Perkuat Sekretariat Bersama, MK se-Asia Gelar Pertemuan di Solo)

Arief menegaskan sudah ada kesediaan dari Kazakstan dilanjutkan Mongolia dan Thailand. “Jadi untuk pemilihan presiden (berikutnya) tidak ada masalah. Ini (mungkin) karena atmosfir kota Solo yang menyebabkan musyawarah mufakat menjadi lancar," katanya.

Sebelumnya, Malaysia memang kandidat terkuat menjadi Presiden AACC dalam kongres ketiga  AACC di Bali, Agustus 2016 lalu. Tetapi, karena ada pertimbangan di internal Malaysia, maka waktu itu masih belum bisa menjadi Presiden AACC. “Saat ini tidak ada hambatan lagi, sehingga Malaysia lebih mudah untuk menjadi Presiden AACC,” kata dia.  (Baca Juga: Tiga Negara Calon Kuat Sekretariat Tetap AACC)

Menurutnya prinsip organisasi tidak boleh Presiden AACC dijabat terlalu lama. Sebab, organisasi AACC ini milik semua negara anggotanya, bukan milik negara tertentu yang menjadi deklarator, termasuk Myanmar sebagai anggota terbaru AACC pun bisa memiliki kesempatan yang sama.

Baginya, untuk menjadi Presiden AACC, tren positifnya negara tersebut menganut prinsip demokrasi berdasarkan hukum. “Itu yang menjadi indikator negara anggota AACC menjadi Presiden AACC.” ujarnya.

Ditambahkan Arief, mengapa Indonesia selalu menjadi tuan rumah pertemuan atau kongres AACC dalam dua tahun belakangan ini. Sebab, Indonesia mampu mengelola organisasi MK ini dengan high performance dan karena sifat keramah-tamahan Indonesia dalam menerima setiap undangan yang datang.

“Bukan karena kemewahan, tetapi high performance dalam hal menghasilkan pertemuan yang sifatnya menampung rekomendasi bermanfaat bagi banyak negara anggota AACC,” lanjutnya.

Dia menegaskan dalam rapat dewan anggota AACC dihadiri 13 anggota AACC, kecuali delegasi dari Pakistan, Filipina, dan Tajikistan yang absen (tidak hadir) dalam pertemuan ini. “Kemarin masih 12 negara anggota yang hadir, tetapi sekarang akhirnya Afghanistan hadir. Jadi, 13 anggota AACC yang bisa hadir dalam pertemuan ini,” katanya.  

Sekretariat permanen mulai bekerja
Sekretaris Jenderal MK Guntur Hamzah mengatakan Sekretariat Permanen AACC telah menyepakati akan segera mulai bekerja. Ada tiga negara yang mengambil peran dalam Sekretariat Permanen ini. MK Indonesia berperan mengelola Divisi Perencanaan dan Koordinasi, MK Korea mengelola Divisi Penelitian dan Pengembangan, MK Turki mengelola pendidikan dan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM).

Meski begitu, Guntur menjelaskan semua anggota terlibat aktif dalam pengorganisasian yang telah disepakati. Nantinya, akan dibuat listen officerdi masing-masing sekretariat yang akan dicantumkan dalam website MK se-Asia. “Semua anggota bisa dengan mudah melakukan pertukaran informasi dan kerja sama untuk kepentingan AACC,” ujar Guntur dalam kesempatan yang sama.

Dia mengatakan telah disepakati pula keikutsertaan AACC dalam World Conference of Countitutional Justice (WCCJ) atau Konferensi Hakim Konstitusi se-Dunia yang diselenggarakan di Lithuania pada 11-14 September 2017 mendatang. “Dalam WCCJ telah disepakati Korea sebagai keynote speakersdan Azerbaijan sebagai moderator serta Indonesia sebagai rapporteur.Indonesia sendiri akan mengusulkan Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati untuk didelegasikan dalam WCCJ,” ujarnya.

Kemudian, telah disepakati pula penandatanganan MoU antara AACC dan CCJA (MK Afrika). “Untuk siapa yang akan menandatangani MoU ini, apakah ada utusan sekretariat permanen atau Presiden AACC yang baru, masih akan dibicarakan dengan para ketua MK se-Asia,” katanya.

Seperti diketahui, sejak didirikan pada 2010 di Jakarta, kongres AACC pertama digelar di Korea Selatan pada Mei 2012. Kongres kedua di Istambul Turki pada April 2014 dimana MK Indonesia terpilih secara mufakat menjadi Presiden AACC periode 2014-2016. Dua periode sebelumnya, Presiden AACC dijabat MK Korea (2010-2012) dan MK Turki (2012-2014).

Setelah itu, pada periode 2016-2018 saat kongres ketiga di Bali, MK Indonesia kembali dipercaya menjadi Presiden AACC. Akan tetapi, hanya berlangsung selama satu tahun hingga Agustus 2017. Karena itu, pertemuan AACC Agustus 2017 ini di Solo sebenarnya hanya mengagendakan pemilihan Presiden AACC yang sempat dead lock dalam kongres ketiga di Bali.

Kini, Anggota AACC berjumlah 16 negara yakni Indonesia, Afghanistan, Azerbaijan, Kazakhtan, Korea, Malaysia, Pakistan, Filipina, Rusia, Tajikistan, Thailand, Turki, Uzbekistan, Mongolia, Kirgistan, dan Myanmar.
Tags:

Berita Terkait