Manfaat JKN Bagi Buruh Terkena PHK Belum Berjalan
Berita

Manfaat JKN Bagi Buruh Terkena PHK Belum Berjalan

Dirut BPJS Kesehatan berjanji akan membentuk FGD untuk mendalami masalah yang dialami peserta JKN kalangan buruh. Hasil FGD berupa rekomendasi yang akan dijalankan pemangku kepentingan.

Oleh:
Ady TD Achmad
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK): BAS
Ilustrasi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK): BAS
Pekerja penerima upah (PPU) merupakan salah satu kategori kepesertaan yang paling penting dalam menunjang keberlanjutan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan BPJS Kesehatan. Jumlah seluruh peserta JKN per 1 Juli 2017 sebanyak 178 juta jiwa.

Dengan jumlah sekitar 40 juta jiwa kategori PPU paling banyak kedua setelah peserta penerima bantuan iuran (PBI) yang jumlahnya hampir 109 juta orang. Dari berbagai jenis peserta PPU, salah satunya kalangan buruh yang berasal dari badan usaha swasta, BUMN dan BUMD.

(Baca: Pemerintah-DPR Dorong BPJS Ketenagakerjaan Kelola Asuransi TKI)

Manfaat yang diterima PPU sedikit berbeda dengan peserta kategori lainnya, yaitu jaminan bagi peserta PPU masih berlaku paling lama 6 bulan sejak mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Jika setelah 6 bulan itu peserta yang bersangkutan belum memperoleh pekerjaan dan tidak mampu, dia bisa menjadi PBI. Ketentuan itu diatur dalam beberapa peraturan diantaranya pasal 21 UU No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

Sayangnya sejak JKN beroperasi 1 Januari 2014 sampai saat ini ketentuan itu belum berjalan. Presiden KSPI, Said Iqbal, mengecam keras karena peraturan itu tidak dijalankan sebagaimana amanat UU SJSN. Selama ini buruh yang mengalami PHK atau masih berselisih PHK di pengadilan langsung diputus jaminannya.

Bagi buruh yang berselisih PHK, menurut Iqbal berhak mendapat jaminan sosial sampai ada putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht). “Harusnya 6 bulan pasca PHK buruh berhak mendapat manfaat jaminan kesehatan,” katanya dalam keterangan pers di Jakarta, Kamis (3/8).

Tidak berjalannya ketentuan tersebut sangat merugikan buruh dan keluarganya karena mereka tidak bisa mendapat pelayanan kesehatan yang dijamin JKN. Iqbal mengusulkan kepada BPJS Kesehatan untuk mengatur agar pengusaha tetap membayar iuran JKN selama proses PHK sampai ada putusan berkekuatan hukum tetap.

Selain itu Iqbal protes terhadap sistem INA-CBGs yang selama ini digunakan dalam menentukan biaya pelayanan kesehatan yang dibayar BPJS Kesehatan. Setelah berdiskusi dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan RS swasta, ternyata sistem itu berdampak buruk bagi buruh yang bekerja di RS swasta. Misalnya, sebuah RS swasta mitra BPJS Kesehatan tidak memberi upah buruhnya sesuai Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) dan melakukan PHK.

Pada laman resmi BPJS Kesehatan, Dirut BPJS Kesehatan, Fachmi Idris, mengapresiasi upaya KSPI dan serikat pekerja lainnya memantau dan memberi masukan kepada BPJS Kesehatan untuk menyempurnakan JKN. Dia berjanji akan melakukan upaya perbaikan dan koordinasi dengan pemangku kepentingan.

(Baca: Penting Diketahui Peserta!! Dua BPJS Koordinasikan Manfaat JKN-JKK)

“Kami juga memohon dukungan dan bantuan dari KSPI dan organisasi pekerja lainnya untuk mendorong pemerintah agar merealisasikan masukan-masukan yang bersifat konstruktif demi perbaikan program," ujar Fachmi.

Masih di laman resmi BPJS Kesehatan, Direktur Kepatuhan, Hukum dan Hubungan Antar Lembaga BPJS Kesehatan, Bayu Wahyudi, mengatakan tuntutan yang disampaikan kalangan buruh itu akan ditindaklanjuti dengan membentuk focus group discussion (FGD). Kegiatan yang rencananya akan diselenggarakan dalam waktu dekat itu akan melibatkan para pemangku kepentingan.

“Dalam menyusun kebijakan tentu kami harus melihat dari berbagai aspek termasuk aspek aturan dan hukum yang memayungi Program JKN-KIS agar sesuai dengan peraturan yang ada,” ujar Bayu.

Sebelumnya, mantan anggota Panitia Khusus UU BPJS, Rieke Diah Pitaloka menilai, sejak bergulirnya BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan tahun 2014 lalu itu telah membawa arah baru kebijakan jaminan sosial di Indonesia. Meski begitu, masih terdapat masalah yang harus dibenahi dalam implementasi program jaminan sosial yang diselenggarakan BPJS.

(Baca: Anggota DPR Ini Angkat Isu Jaminan Sosial)

Ia menghitung, setidaknya terdapat regulasi mengenai jaminan sosial yang perlu direvisi. Misalnya, sedikitnya 4 regulasi untuk masing-masing BPJS yang perlu diperbaharui. Dari total 8 regulasi itu sebagian besar menyentuh masalah teknis. Untuk BPJS Kesehatan mulai dari ketentuan batas upah, tarif pelayanan, pendaftaran, penagihan dan pembayaran. Sedangkan BPJS Ketenagakerjaan mulai dari penyelenggaraan jaminan pensiu, jaminan hari tua, jaminan kecelakaan kerja dan kematian hingga batas maksimal usia peserta mandiri.
Tags:

Berita Terkait