Mantan Hakim Konstitusi: Pencopotan Aswanto Serangan Terhadap Kemandirian MK
Terbaru

Mantan Hakim Konstitusi: Pencopotan Aswanto Serangan Terhadap Kemandirian MK

Kekuasaan hakim yang merdeka adalah syarat berdirinya negara demokrasi yang berlandaskan hukum. Kekuasaan kehakiman harus bebas dari semua tekanan, termasuk tekanan politik.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Pencopotan Hakim Konstitusi Prof Aswanto oleh DPR terus menuai sorotan publik. Sebab, proses pencopotan itu dilakukan di tengah jalan dimana masa jabatan Prof Aswanto sebagai hakim konstitusi belum berakhir. Hakim MK periode (2003-2008 dan 2015-2020) I Dewa Gede Palguna menyimpulkan jika tindakan seperti itu dibiarkan berlanjut maka akan merusak hukum tata negara di Indonesia.

“Pemberhentian Aswanto ini merupakan bentuk serangan terhadap MK dan kemandirian kekuasaan kehakiman,” kata Palguna dalam diskusi bertema “Membaca Kembali Urgensi Kemandirian MK sebagai Penjaga Konstitusi Pasca Pemberhentian Hakim Konstitusi oleh DPR”, Selasa (8/11/2022).

Akademisi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Bali itu menjelaskan Indonesia diciptakan sebagai negara demokrasi yang berlandaskan hukum. Hal itu membutuhkan rule of law. Untuk menjaga demokrasi dalam bingkai negara hukum itu diperlukan syarat berupa kekuasaan kehakiman yang merdeka atau independen. Kekuasaan kehakiman yang bebas dari semua tekanan seperti ekonomi, politik, personal, termasuk pembalasan.

Baca Juga:

Untuk menjaga kekuasaan kehakiman yang merdeka, Palguna menyebut cabang kekuasaan yudikatif dipisah dari 2 cabang kekuasaan lainnya yakni eksekutif dan legislatif. Hakim atau pengadilan terikat terhadap UU dan dalam menafsirkan aturan harus otonom (mandiri), sehingga tidak boleh ada hakim yang merasa ketakutan.

Menurut Palguna, kemerdekaan kekuasaan kehakiman sifatnya bukan hak istimewa (privilege), tapi syarat untuk tegaknya negara hukum. Syarat tersebut diawasi melalui akuntabilitas peradilan yang bentuknya antara lain kewajiban hakim untuk menjelaskan dalam pertimbangan putusan tentang alasan (rasionlitas) dalam mengambil putusan. “Hakim terikat hukum acara, juga kode etik dan perilaku,” ujarnya menjelaskan.

Palguna memaparkan Indonesia menganut negara demokrasi berlandaskan hukum model konstitusional dimana kedudukan konstitusi sebagai yang tertinggi (supreme). Kekuasaan kehakiman berfungsi menjaga supremasi tertinggi itu. Oleh karena itu, kekuasaan kehakiman berperan menegakkan prinsip konstitusi. Jika penafsiran konstitusi itu diberikan kepada lembaga poltiik (legislatif atau eksekutif), maka akan terjadi pertengkaran politik yang tak berujung.

Dalam hal ini Indonesia memiliki lembaga pengadilan khusus untuk mengawal konstitusi yakni MK. Semua cabang kekuasaan negara harus mematuhi putusan MK karena lembaga tersebut bertugas menegakkan prinsip supremasi konstitusi. Proses pengawalan konstitusi itu bisa berjalan jika hakim memiliki kemerdekaan (kemandirian) dan tidak diintervensi. Pencopotan Prof Aswanto sebagai hakim MK merupakan bentuk dari intervensi terhadap MK.

“Dari 119 negara (yang menganut sistem konstitusional) apakah ada yang mengatur mekanisme pemberhentian hakim MK seperti yang dilakukan DPR saat ini (mencopot Prof Aswanto, red)?”

Oleh karena itu, Palguna menegaskan pemberhentian hakim MK di tengah masa jabatan seperti yang dialami Prof Aswanto adalah serangan terhadap kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Serta pelanggaran terhadap konstitusi karena telah melanggar prinsip supremasi konstitusi.

Tags:

Berita Terkait