Mantan Jaksa Agung Ingatkan Pemerintah Dorong Myanmar Menuju Demokrasi
Terbaru

Mantan Jaksa Agung Ingatkan Pemerintah Dorong Myanmar Menuju Demokrasi

Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah pemerintah Republik Indonesia harus mengakui National Unity Government (NUG) sebagai pemerintahan yang sah di Myanmar karena berasal dari hasil pemilihan yang demokratis di tahun 2020.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Massa berdemo menolak Pimpinan Pasukan Junta Militer Myanmar (Tatmadaw) Jenderal Min Aung Hlaing yang hadir dalam KTT ASEAN di Gedung Sekretariat ASEAN, Jakarta, tahun lalu. Foto: RES
Massa berdemo menolak Pimpinan Pasukan Junta Militer Myanmar (Tatmadaw) Jenderal Min Aung Hlaing yang hadir dalam KTT ASEAN di Gedung Sekretariat ASEAN, Jakarta, tahun lalu. Foto: RES

Kekerasan yang dilakukan rezim militer di Myanmar belum berakhir. Kekerasan itu tak hanya menyasar aktivis pro demokrasi, tapi juga berbagai kelompok etnis di Myanmar seperti Rohingya. Jaksa Agung periode 1999-2001 sekaligus mantan Ketua Misi Pencari Fakta Misi PBB untuk Myanmar (UN Fact Finding Mission on Myanmar) Marzuki Darusman menyampaikan catatan-catatan khusus mengenai proses advokasi penyelesaian konflik Rohingya.

Salah satu upaya penyelesaian konflik Rohingya yakni usulan membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc untuk mengadili tindakan yang bersifat genosida. “30 tahun Myanmar menjadi persoalan di PBB. Masalahnya adalah sampai hari ini keadilan bagi Rohingya belum diperoleh sementara hal yang serupa yang terjadi pada Rohingya ini sekarang juga sedang dialami oleh kelompok-kelompok etnis lainnya di Myanmar,” kata Marzuki dalam acara Peringatan Genosida 25 Agustus Terhadap Warga Rohingya - Myanmar di Jakarta, Kamis, (25/8/2022) sebagaimana dikutip laman komnasperempuan.go.id.

Marzuki menjelaskan tentara Myanmar yang dikenal dengan nama Tatmadaw menjadi sumber kekerasan dan pelanggaran-pelanggaran HAM berat yang terjadi selama puluhan tahun. Kekerasan itu dilakukan semata-semata karena hasrat untuk menjadi penguasa abadi tunggal di Myanmar.

Menurut Marzuki, apa yang terjadi di Myanmar juga bisa menimpa di negara-negara lain, termasuk Indonesia. Karena itu, dia mengajak masyarakat Indonesia untuk mendorong Pemerintah Republik Indonesia secara politis mengakui National Unity Government (NUG) sebagai pemerintahan yang sah di Myanmar karena berasal dari hasil pemilihan yang demokratis di tahun 2020.

“Kalau Myanmar terus menjalani kondisi yang otoriter seperti saat ini, maka Indonesia sebagai negara yang paling terbuka dan demokratis di ASEAN, terancam dengan negara-negara yang sistem pemerintahannya otoriter. Maka kita harus membantu Myanmar menuju ke arah demokrasi,” imbuh Marzuki.

Ia menyoroti adanya beberapa negara di ASEAN yang mulai kembali ke sistem pemerintahan otoriter dan melakukan kejahatan genosida kepada rakyatnya. Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan, sehingga perlu diberikan perhatian khusus.

Dalam acara yang sama Ketua Perkumpulan Suaka, Atika Yuanita menjelaskan Indonesia merupakan negara ketiga yang menampung pengungsi Rohingya terbanyak setelah Afganistan dan Somalia. Namun, pemenuhan HAM bagi para pengungsi masih banyak yang belum terpenuhi. Padahal, Indonesia memiliki landasan konstitusional sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 Republik Indonesia yang mengamanatkan untuk turut serta dalam melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

“Belum ada aturan untuk pemenuhan HAM pada pengungsi, seperti hak untuk menikah, pendidikan, dan pekerjaan masih terbatas. Suaka masih terus berupaya mendorong Pemerintah Indonesia untuk memenuhi HAM pengungsi,” ujar Anita.

Pemenuhan hak-hak pengungsi masih belum terpenuhi, menurut Anita karena Pemerintah Republik Indonesia belum meratifikasi Konvensi PBB Tahun 1951 tentang pengungsi. Indonesia belum bisa menentukan status warga negara pengungsi, memberikan hak pekerjaan, dan pendidikan formal.

Tags:

Berita Terkait