Manuver Politik Penyebab Mahkamah Konstitusi Makin Tidak Dipercaya Publik
Utama

Manuver Politik Penyebab Mahkamah Konstitusi Makin Tidak Dipercaya Publik

Serangan terhadap Mahkamah Konstitusi datang dari aktor politik di parlemen.

Oleh:
Normand Edwin Elnizar
Bacaan 3 Menit
Guru Besar Luar Biasa Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera Prof Susi Dwi Harijanti saat acara STHI Jentera International Lecture bertajuk 'Declining Public Trust towards Constitutional Court: A Comparative Perspective', Jumat (26/5/2023). Foto: NEE
Guru Besar Luar Biasa Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera Prof Susi Dwi Harijanti saat acara STHI Jentera International Lecture bertajuk 'Declining Public Trust towards Constitutional Court: A Comparative Perspective', Jumat (26/5/2023). Foto: NEE

Guru Besar Luar Biasa Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera Prof Susi Dwi Harijanti menjelaskan sejumlah alasan Mahkamah Konstitusi Indonesia terus mengalami penurunan kepercayaan oleh publik. “Dalam pandangan saya, terjadi abusive judicial review,” ujar Prof Susi dalam acara STHI Jentera berjudul “Declining Public Trust towards Constitutional Court: A Comparative Perspective”, Jum’at (26/5/2023) kemarin.

Susi yang juga Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran ini menyampaikan kuliah umum bersama dengan Maurice Adams, Professor of General Jurisprudence asal Belanda di Tilburg Law School, Tilburg University. Maurice memberikan data perbandingan dengan kondisi serupa di Belgia dan Israel. Kepercayaan publik terhadap lembaca peradilan konstitusi juga berkurang di dua negara itu.

Baca Juga:

Susi merujuk pendapat Hakim Agung Australia Susan Kenny soal tiga ukuran penurunan kepercayaan oleh publik. “Pertama, performa pengadilan turun. Kedua, ada masalah dengan sistem hukum. Ketiga, perdebatan publik yang tidak imbang tentang peradilan, artinya harapan mereka tidak terpenuhi,” kata Susi.

Hukumonline.com

Suasana acara STHI Jentera International Lecture berjudul “Declining Public Trust towards Constitutional Court: A Comparative Perspective”.

Ia mengambil contoh sejumlah kondisi Mahkamah Konstitusi dalam 20 tahun belakangan yang relevan dengan tiga ukuran itu. “Hakim-hakim konstitusi yang bermasalah berkontribusi pada penurunan kepercayaan publik,” ungkapnya. Masalah itu mulai mencolok sejak kasus korupsi Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar di tahun 2013.

Akil terbukti menerima suap dalam perannya mengatur isi putusan sejumlah sengketa pemilihan kepala daerah. Kasusnya bisa dikatakan salah satu skandal terbesar sepanjang sejarah peradilan Indonesia. Ia bahkan terbukti melakukan pencucian uang korupsinya itu mencapai ratusan miliar rupiah.

Tags:

Berita Terkait