Marak Pelanggaran Hukum Siber, Literasi Digital Perlu Terintegrasi Kurikulum
Berita

Marak Pelanggaran Hukum Siber, Literasi Digital Perlu Terintegrasi Kurikulum

Salah satu faktor penyebab rendahnya literasi masyarakat Indonesia adalah kurangnya penekanan pada keterampilan berpikir kritis sejak usia dini.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 6 Menit

“Bijak menggunakan media sosial ini paling penting seperti menggunakan FB, Instagram, Twitter dan mengakses portal-portal berita. Harus paham sebenarnya interaksi secara online enggak ada beda dengan interaksi secara langsung. Tentu ada batasan-batasan tertentu sehingga harus bijak berinteraksi melalui media sosial,” jelas Rizky dalam diskusi webinar yang diselenggarakan Justika.com bekerja sama dengan Bank BTPN dalam program Employee Legal Assistant Program (ELAP).

Dia mengutip Pasal 27-30 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Menurutnya, pada pasal-pasal tersebut merupakan bentuk-bentuk pelanggaran yang paling sering terjadi di masyarakat. Seperti diketahui, Pasal 27 UU ITE menyatakan perbuatan yang dilarang seperti pendistribusian, transmisi dan perbuatan yang menyebabkan dapat diaksesnya muatan melanggar keasusilaan, perjudian, pencemaran nama baik dan pengancaman.

Kemudian, Pasal 28 mengatur pelarangan penyebaran berita bohong dan menyesatkan sehingga merugikan konsumen dalam transaksi elektronik. Pasal 29 mengatur pelarangan ancaman kekerasan dan menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi. Dan Pasal 30 mengatur pelarangan pengaksesan komputer atau sistem elektronik tanpa izin maupun secara paksa.

Rizky menyoroti berbagai pelanggaran hukum pada transaksi online. Kasus penipuan produk oleh toko online sering dialami masyarakat. “Saat belanja online, harus waspada karena barangnya tidak dapat dilihat secara langsung maka sering sekali hasilnya zonk atau barang yang didapat tidak sesuai dengan gambar,” kata Rizky. Dia menjelaskan saat terjadi pelanggaran berbelanja online, masyarakat memiliki hak untuk mendapat ganti rugi seperti yang diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Masyarakat diminta berhati-hati saat menggunakan pinjaman online atau financial technology peer to peer. Dia menjelaskan banyak beredar fintech ilegal yang menetapkan bunga pinjaman tinggi serta rawan pencurian data. Dia meminta masyarakat agar memeriksa izin penyelenggara atau fintech tersebut di Otoritas Jasa Keuangan. Kemudian, persetujuan pengaksesan data pada telepon genggam konsumen fintech oleh penyelenggara terdapat pada klausula baku perjanjian. Sehingga, saat masyarakat memberi persetujuan akses tersebut maka dapat dikatakan sudah mengizinkan perusahaan fintech mengakses data konsumen.

“Pinjaman online ini harus tahu legal atau ilegal caranya bisa lihat dulu sudah terdaftar di OJK atau belum. Pinjaman online ini utang-piutang sehingga ada kontrak-kontrak yang disepakati. Awal-awal sekali sebelum menyetujui pinjaman cermati dulu isi kontraknya, baca secara detil mengenai yang diatur dalam kontrak misalnya tanggal jatuh tempo pembayaran. Fintech ini juga ada risiko pengaksesan data sehingga mereka bisa SMS orang-orang yang ada dalam daftar telepon kita,” jelas Rizky.

Tags:

Berita Terkait