Marak Pelanggaran Hukum Siber, Literasi Digital Perlu Terintegrasi Kurikulum
Berita

Marak Pelanggaran Hukum Siber, Literasi Digital Perlu Terintegrasi Kurikulum

Salah satu faktor penyebab rendahnya literasi masyarakat Indonesia adalah kurangnya penekanan pada keterampilan berpikir kritis sejak usia dini.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 6 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Berbagai kasus pelanggaran hukum cyber atau digital makin marak terjadi seiring masifnya penggunaan internet pada masyarakat. Bentuk pelanggarannya pun beragam seperti perundungan (cyber bullying), pencemaran nama baik, penipuan (online fraud), hingga pelanggaran data pribadi (privacy breach). Kondisi ini tentunya perlu menjadi perhatian khusus para pengambil kebijakan untuk mengantisipasi serta edukasi masyarakat sejak dini. 

Salah satu upaya yang dapat dilakukan melalui integrasi literasi digital dengan kurikulum pendidikan. Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Nadia Fairuza, menyampaikan upaya peningkatan literasi digital perlu terintegrasi dengan kurikulum karena kemampuan literasi digital sangat dipengaruhi dengan kemampuan literasi baca tulis, yakni kemampuan membaca, menulis, mencari, menganalisis, mengolah dan membagikan teks tertulis. Sayangnya, performa Indonesia di bidang literasi baca tulis termasuk rendah.

Nadia melanjutkan, salah satu faktor penyebab rendahnya literasi masyarakat Indonesia adalah kurangnya penekanan pada keterampilan berpikir kritis sejak usia dini. Padahal, literasi digital perlu diasah sejak dari pendidikan dasar. Dalam, Kurikulum Nasional 2013 mengamanatkan penerapan High Order Thinking Skills (HOTS) tetapi tidak terintegrasi dengan baik atau diajarkan secara luas selama pelatihan guru di Indonesia.

Menurutnya, dalam praktik, pendidikan Indonesia berfokus pada pendekatan pembelajaran yang kurang mengasah keterampilan berpikir kritis seperti menghafal dan mengerjakan soal-soal yang jawabannya dapat dengan mudah ditemukan di buku pelajaran tanpa melewati proses berpikir yang dalam. 

“Mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang ada di sekolah-sekolah juga belum optimal dalam meningkatkan literasi digital. Faktanya, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 37 Tahun 2016 tentang implementasi pembelajaran TIK lebih berfokus pada kemampuan peserta didik dalam mengoperasikan perangkat teknologi dan internet daripada kemampuan menganalisis dan memproses informasi yang didapat secara daring,” jelas Nadia, Kamis (1/4). (Baca: Dua RUU Ini Mendesak Disahkan Demi Keamanan Konsumen)

Padahal, literasi digital merupakan salah satu kemampuan yang dibutuhkan di abad 21. Keterampilan literasi digital memberi siswa kemampuan untuk berkembang dalam lingkungan digital yang dinamis seperti sekarang ini.

Berdasarkan hasil dari survei Programme for International Students Assessment (PISA) tahun 2018, Indonesia berada di peringkat 71 dari 79 negara. Dipaparkan bahwa hanya 30 persen peserta didik yang menunjukkan setidaknya kemampuan level 2 dibandingkan dengan 77 persen peserta didik di negara-negara anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).

Di sisi lain, 70 persen orang dewasa Indonesia berada di level 1 bahkan di bawahnya dalam bidang literasi menurut menurut Survey of Adult Skills tahun 2015. Dua survei ini memperlihatkan bahwa meskipun mayoritas orang Indonesia dapat memahami teks sederhana menggunakan kosakata dasar, mereka mengalami kesulitan untuk memahami dan secara kritis mengevaluasi teks yang panjang dan kompleks. 

“Pemerintah perlu meneruskan upaya yang terstruktur untuk meningkatkan konektivitas antar daerah di Indonesia untuk memperkecil kesenjangan antara satu daerah dengan daerah lainnya. Hal ini akan membantu banyak hal, tidak hanya pendidikan, tetapi juga membuka peluang ekonomi bagi masyarakat,” jelas Nadia.

Indonesia memiliki tantangan struktural, yaitu ketimpangan akses internet antar daerah. Berdasarkan data dari BPS, persentase rumah tangga yang dapat mengakses internet tertinggi berada pulau Jawa dan lebih rendah di wilayah timur Indonesia. Sebagai contoh, persentase rumah tangga tertinggi yang mengakses internet ada di provinsi DKI Jakarta sebesar 93,33% dan terendah di Papua sebesar 31,31%. Sebelum pandemi, persentase masyarakat berusia 5-24 tahun yang menggunakan internet meningkat dalam empat tahun terakhir, dari 33,98% ke 59,3%.

Seperempat dari populasi pengguna internet di Indonesia adalah anak-anak dan remaja. Dapat diperkirakan adanya peningkatan pengguna internet di kalangan anak-anak dan remaja selama masa pandemi akibat kebijakan Belajar dari Rumah (BDR). Peningkatan aktivitas secara daring selama masa pandemi ini semakin memperkuat urgensi peningkatan digital literasi bagi masyarakat. 

Untuk mendukung upaya peningkatan literasi digital, Nadia merekomendasikan beberapa hal. Pertama, mengingat urgensi peningkatan literasi digital, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Agama (Kemenag) harus berpikir ulang dalam menyusun kurikulum mata pelajaran TIK agar sesuai dengan tuntutan zaman.

Ada baiknya apabila konten pembelajaran TIK lebih memprioritaskan pengajaran dalam penggunaan dan menyampaikan informasi yang didapat secara daring dengan bertanggung jawab, mengidentifikasi informasi daring yang dapat dipercaya dan cara mengamankan peserta didik selama aktivitas daring mereka. Kompetensi seperti ini akan sangat relevan dengan tuntutan era digital saat ini.

Di sisi lain, upaya ini perlu diimbangi dengan keterlibatan orang tua dalam mengawasi anaknya. Ada baiknya Kemendikbud juga menjalin kerjasama yang komprehensif dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) yang memiliki berbagai inisiatif terkait dengan literasi digital seperti Siberkreasi. 

Kurikulum ini harus diprioritaskan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik dalam menganalisis, mengevaluasi, dan membagikan informasi digital secara bertanggung jawab. Selain itu, penting pula membekali peserta didik dengan kemampuan untuk mengidentifikasi sumber informasi yang dapat dipercaya, kiat-kiat untuk melindungi diri mereka selama aktivitas daring mereka agar terhindar dari berbagai kasus pelanggaran hukum siber.

Kedua, Kemendikbud dan Kemenag perlu mengevaluasi bagaimana berpikir kritis diintegrasikan dalam pembelajaran di sekolah. Kebiasaan seperti bekerja secara berkelompok dengan teman sekelas, memperbanyak porsi soal-soal latihan yang mengasah pemikiran kritis dan memupuk model pembelajaran yang mengutamakan kebiasaan bertanya, menganalisis dan menyatakan argumen dalam diskusi harus diperkuat sebagai pondasi dalam peningkatan literasi digital.

Upaya ini dilakukan oleh negara-negara maju yang memiliki literasi digital yang tinggi seperti Swiss dan Finlandia. Indonesia dapat mengambil contoh dari negara-negara yang sukses mengimplementasikan materi literasi digital dan menerapkannya dengan konteks lokal.

“Materi literasi digital juga harus disertakan dalam pelatihan guru. Tanpa meningkatkan kompetensi TIK yang rendah dan pedagogi berpikir kritis di antara para guru, mereka tidak akan dapat berperan dalam meningkatkan literasi digital siswa. Jadi materi literasi digital tidak hanya perlu disertakan dalam kurikulum 2013 tapi juga dalam kurikulum pelatihan guru. Hal ini juga merupakan bentuk adaptasi pemerintah terhadap tantangan yang dihadapi para guru di masa sekarang ini,” terangnya.

Selanjutnya, internet merupakan kawasan yang dinamis dan selalu berubah dan tidak dapat dipungkiri bahwa sektor pendidikan akan kesulitan untuk mengejar ketertinggalan. Untuk meningkatkan dinamisme pendidikan literasi digital, Kemendikbud dan Kemenag harus berkoordinasi dengan Kemenkominfo dan menjalin kemitraan dengan para ahli dari sektor swasta. Sektor swasta telah terlibat dalam seminar publik dan talkshow melalui program Siberkreasi. Tetapi tidak dalam penyempurnaan kurikulum sekolah. Tenaga ahli eksternal ini dapat membantu pemerintah merumuskan indikator yang relevan untuk kurikulum literasi digital.

Terakhir, peningkatan akses dan teknologi Internet, terutama di daerah pedesaan di Indonesia, harus tetap menjadi prioritas pemerintah untuk mengatasi kesenjangan digital dan membuka peluang bagi keluarga yang kurang beruntung. Kemenkominfo berencana untuk melengkapi sekitar 12.000 desa dengan akses Internet. Keterlibatan swasta yang selama ini dipertimbangkan harus didorong. Kemendikbud dan Kemenag juga harus bekerja sama dengan sektor swasta untuk melengkapi sekolah, terutama di pedesaan, dengan laptop/komputer.

Masyarakat Perlu Bijak

Sebelumnya, advokat dan konsultan hukum Justika.com, Rizky Rahmawati Pasaribu, mengimbau masyarakat agar lebih bijak dan menambah pemahamannya mengenai hukum digital agar dapat mengetahui hak-hak dan kewajiban, serta terhindar dari permasalahan hukum. Dia menjelaskan permasalahan paling awam ditemui yaitu penyebaran hoax. Masyarakat masih gemar menyebarkan berita abu-abu kebenarnnya melalui media sosial.

“Bijak menggunakan media sosial ini paling penting seperti menggunakan FB, Instagram, Twitter dan mengakses portal-portal berita. Harus paham sebenarnya interaksi secara online enggak ada beda dengan interaksi secara langsung. Tentu ada batasan-batasan tertentu sehingga harus bijak berinteraksi melalui media sosial,” jelas Rizky dalam diskusi webinar yang diselenggarakan Justika.com bekerja sama dengan Bank BTPN dalam program Employee Legal Assistant Program (ELAP).

Dia mengutip Pasal 27-30 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Menurutnya, pada pasal-pasal tersebut merupakan bentuk-bentuk pelanggaran yang paling sering terjadi di masyarakat. Seperti diketahui, Pasal 27 UU ITE menyatakan perbuatan yang dilarang seperti pendistribusian, transmisi dan perbuatan yang menyebabkan dapat diaksesnya muatan melanggar keasusilaan, perjudian, pencemaran nama baik dan pengancaman.

Kemudian, Pasal 28 mengatur pelarangan penyebaran berita bohong dan menyesatkan sehingga merugikan konsumen dalam transaksi elektronik. Pasal 29 mengatur pelarangan ancaman kekerasan dan menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi. Dan Pasal 30 mengatur pelarangan pengaksesan komputer atau sistem elektronik tanpa izin maupun secara paksa.

Rizky menyoroti berbagai pelanggaran hukum pada transaksi online. Kasus penipuan produk oleh toko online sering dialami masyarakat. “Saat belanja online, harus waspada karena barangnya tidak dapat dilihat secara langsung maka sering sekali hasilnya zonk atau barang yang didapat tidak sesuai dengan gambar,” kata Rizky. Dia menjelaskan saat terjadi pelanggaran berbelanja online, masyarakat memiliki hak untuk mendapat ganti rugi seperti yang diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Masyarakat diminta berhati-hati saat menggunakan pinjaman online atau financial technology peer to peer. Dia menjelaskan banyak beredar fintech ilegal yang menetapkan bunga pinjaman tinggi serta rawan pencurian data. Dia meminta masyarakat agar memeriksa izin penyelenggara atau fintech tersebut di Otoritas Jasa Keuangan. Kemudian, persetujuan pengaksesan data pada telepon genggam konsumen fintech oleh penyelenggara terdapat pada klausula baku perjanjian. Sehingga, saat masyarakat memberi persetujuan akses tersebut maka dapat dikatakan sudah mengizinkan perusahaan fintech mengakses data konsumen.

“Pinjaman online ini harus tahu legal atau ilegal caranya bisa lihat dulu sudah terdaftar di OJK atau belum. Pinjaman online ini utang-piutang sehingga ada kontrak-kontrak yang disepakati. Awal-awal sekali sebelum menyetujui pinjaman cermati dulu isi kontraknya, baca secara detil mengenai yang diatur dalam kontrak misalnya tanggal jatuh tempo pembayaran. Fintech ini juga ada risiko pengaksesan data sehingga mereka bisa SMS orang-orang yang ada dalam daftar telepon kita,” jelas Rizky.

Tags:

Berita Terkait