Maria Farida Indrati: Pantang Berhenti Mengasah Ilmu
Edsus Akhir Tahun 2010:

Maria Farida Indrati: Pantang Berhenti Mengasah Ilmu

Sempat bercita-cita menjadi guru musik.

Oleh:
ASh
Bacaan 2 Menit

 

“Saat seleksi hakim MK periode penggantian, banyak teman yang menginginkan saya untuk jadi hakim konstitusi, saat itu presiden mendengarkan usulan pencalonan hakim konstitusi. Selanjutnya, salah seorang Watimpres meminta saya agar mau mengikuti fit and proper test, akhirnya saya mau meski saya sebenarnya tak tertarik menjadi hakim konstitusi,” ujar perempuan yang juga menjadi Ketua Komisi Perundang-undangan, Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Tingkat Pusat.       

 

Pencalonannya menjadi hakim konstitusi sempat ada ketidaksetujuan dari anggota keluarganya. “Sebelum saya masuk sini (MK) suami saya setuju, tetapi anak saya ragu-ragu, alasannya kalau jadi pejabat seringkali dicap koruptor, masak nggak percaya sama Ibu,” jawab Maria meyakinkan sang anak.       

 

Misinya untuk menjadi hakim konstitusi adalah berusaha memberikan putusan yang bisa memberikan keadilan bagi masyarakat. “Misi saya berusaha untuk memutuskan sesuatu yang menurut hati nurani saya adalah kebenaran dan keadilan,” katanya. “Sejak dulu prinsipnya saya ingin mengabdi, kalau di kampus bagaimana saya memberikan pelajaran dengan baik, sedangkan di MK bagaimana memberikan putusan yang adil bagi masyarakat.”  

 

Ia merasa pengalaman sebagai dosen sangat membantu profesinya sebagai hakim konstitusi terutama untuk kasus pengujian UU. Menurutnya, ilmu yang didapat dan dikembangkan di universitas dapat menjadi masukan dalam putusan-putusan MK. “Ini mengharuskan dan memaksa saya selalu membaca untuk memahami permasalahan, seperti Pengujian UU Minerba, UU Kehutanan, masalahnya apa?”

 

Nampaknya, dunia mengajar sudah menyatu dalam jiwa ibu tiga orang anak itu. Pasalnya, di sela-sela kesibukannya sebagai hakim konstitusi, ia masih menyempatkan diri untuk mengajar di FHUI dan Sekolah Tinggi Hukum Militer (STHM).  

 

“Untuk program S-1 di FHUI Depok, saya biasanya ngajar hanya pembukaan dan penutupan kuliah, selebihnya yang memberikan perkuliahan dua asisten saya. Tetapi, saya intensif mengajar di STHM di Matraman dan program S-2 di FHUI Salemba,” ujar peraih penghargaan SK Trimurti Award 2010 dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia lantaran konsistensi dan integritasnya dalam membela demokrasi dan menegakkan hukum.  

 

Hal yang menjadi perhatian khusus Maria adalah masih banyaknya rancangan peraturan perundangan-undangan yang semestinya tidak layak menjadi UU. Seperti RUU Keolahragaan, RUU Kepemudaan, RUU Pramuka, RUU Pembantu Rumah Tangga. “Apakah kita bisa setiap orang memaksakan harus ikut pramuka, apakah ada sanksinya?” Kita punya menteri olahraga, kenapa tidak diatur dengan peraturan yang lebih rendah. Buat apa kita membuat UU, tetapi tak bisa dilaksanakan.”

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait