Maria Farida Indrati: Pantang Berhenti Mengasah Ilmu
Edsus Akhir Tahun 2010:

Maria Farida Indrati: Pantang Berhenti Mengasah Ilmu

Sempat bercita-cita menjadi guru musik.

Oleh:
ASh
Bacaan 2 Menit

 

Satu hal tak pernah dilupakan selama Maria menjadi hakim konstitusi ketika MK membatalkan sistem penetapan caleg berdasarkan nomor urut dalam UU Pemilu Legislatif. Putusan MK ini dinilai merugikan kaum perempuan. Kala itu, ia memberikan dissenting opinion (pendapat berbeda).

 

Menurutnya, semestinya selain suara terbanyak posisi perempuan harus tetap ada karena adanya affirmative action sesuai Pasal 55 ayat (2) UU Pemilu yang mendorong jumlah perempuan lebih banyak di parlemen. Jika hanya didasarkan sistem suara terbanyak keterwakilan perempuan bisa hilang. “Saya dikatakan membela perempuan, padahal dari segi perundang-undangan atau rumusan norma seperti itu.”     

    

Pandangan soal kiprah perempuan, ia menilai semakin hari semakin banyak perempuan yang berkiprah di dunia hukum. Tetapi, dari perspektif yang lain, di DPR mulai banyak anggota DPR perempuan. “Banyak anggota DPR dan pengusaha yang sukses adalah perempuan, advokat, notaris juga banyak yang perempuan. Seperti di UI, kebanyakan mahasiswi teladan ada perempuan karena umumnya perempuan itu lebih tekun.”

 

Kini, peminat jurusan hukum tata negara sudah mulai meningkat. “Dengan adanya perubahan UUD 1945, UU Pemda, jurusan hukum tata negara sudah banyak diminati,” ujarnya berharap kelak ada hakim konstitusi perempuan lain yang bakal mengikuti jejaknya.       

 

Meski demikian, ia memandang peranan perempuan di kelembagaan negara/publik masih minim. “Menteri perempuan hanya empat orang, di MK hanya satu hakim konstitusi, di MA baru ada lima orang hakim agung perempuan.”

 

Ia berprinsip tekun dan setialah kepada satu profesi yang diyakininya, niscaya akan berhasil. “Saya mau tekuni dan mendalami ilmu perundang-undangan, akhirnya seperti ini,” katanya, yang pesan itu diperolehnya dari orang tuanya yang dianggap sebagai tokoh panutan.    

 

Namun, ia mengingatkan setinggi apapun kedudukan setiap perempuan, ia harus sadar akan kodratnya sebagai perempuan. “Ini harus, kalau dia dibutuhkan di rumah untuk masak ya harus masak atau nyuci, jangan pernah merasa terpaksa,” pesan wanita yang pernah mengikuti pendidikan legal drafting di Univeritas Leiden Belanda dan Boston School of Law Amerika itu.

 

Tags:

Berita Terkait