Maria Farida: Tanpa Pengesahan Presiden, UU Tidak Berlaku
Terbaru

Maria Farida: Tanpa Pengesahan Presiden, UU Tidak Berlaku

Belakangan ini, sejumlah undang-undang (UU) telah diundangkan tanpa pengesahan dari Presiden. Memang, semua UU yang tidak disahkan Presiden tersebut adalah UU yang kontroversial. Sebut saja UU Penyiaran atau UU Keuangan Negara. Pertanyaannya, apakah kekuatan mengikat UU tanpa pengesahan Presiden sama dengan yang disahkan (ditandatangani) oleh Presiden?

Oleh:
Bacaan 2 Menit

Belakangan beberapa UU dianggap bertentangan dengan UUD, sehingga dimohonkan judicial review ke Mahkamah Agung (MA) yang sementara ini melaksankan tugas Mahkamah Konstitusi (MK). Bagaimana kalau yang dinilai inkonstitusional ini bukan UU, tetapi misalnya, Perda, PP, Kepmen?

Dalam UUD itu dinyatakan, kalau yang diajukan judicial review pada MA itu peraturan-peraturan di bawah UU. Pasal 24A, MA berwenang mengadili pada tingkat kasasi, pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU. Jadi kalau ada Perda, Keputusan Bupati, Kepmen, PP bertentangan dengan UU, maka pengajuan judicial review-nya itu pada MA.

Tapi kalau yang bertentangan itu UU terhadap UUD, maka diajukan judicial review pada MK. Selama MK tidak ada, menurut Aturan Peralihan Pasal III dalam konstitusi, MK dibentuk selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangan dilakukan oleh MA. Jadi, sekarang judicial review yang diajukan terhadap UU Penyiaran, UU Antiterorisme itu diajukannya kepada MA sebagai MK.

Kalau Keppres, PP bertentangan dengan konstitusi tetap judicial review-nya pada MA karena kalau bertentangan dengan konstitusi, maka dia bertentangan juga dengan UU. Karena, UU itu adalah kewenangan yang melaksanakan lebih lanjut ketentuan konstitusi itu. Jadi kalau ada itu, maka di sini dikatakan bahwa dia harus dilaksanakan oleh MA.

Seperti apa kira-kira putusan MK atas permohonan judicial review dan siapa yang berwenang mencabut, katakanlah, UU yang terbukti inkonstitusional?

Kalau judicial review terhadap peraturan di bawah UU, itu kan pelaksanaannya berdasarkan Perma No.1/1999. Perma No.1/1999 putusannya itu mengabulkan gugatan atau menolak gugatan itu, saya rasa ada dua lagi. Kalau menolak, berarti dianggap peraturan di bawah UU itu memang benar, sah.

Tapi kalau dia mengabulkan, berarti gugatannya itu dianggap bahwa memang peraturannya itu memang bertentangan dengan UU. Di sana dikatakan bahwa mengabulkan gugatan dan menyatakan itu tidak sah. Tapi kemudian dia juga harus memberikan suatu perintah pada lembaga yang membentuk itu untuk mencabut peraturan itu. Kemudian ada pasal yang lain mengatakan, apabila 90 hari peraturan yang diminta untuk dicabut itu tidak dicabut oleh lembaga yang membentuk maka dia batal demi hukum atau dianggap tidak berlaku. Itu ada di dalam Perma No.1/1999.

Sedangkan untuk judicial review yang diajukan kepada MK itu sekarang sementara diatur dalam Perma No.2/2002. Dia bisa mengatakan putusanya menolak atau mengabulkan, tapi tidak ada jenis materi keputusannya itu apa. Menolak gugatan saja dan mengabulkan gugatan, jadi apa yang harus dilakukan lebih lanjut itu tidak ada.

Nah, secara norma Pasal 20 ayat (5) itu memang betul, tapi dalam implementasinya itu tidak mudah dan tidak bisa dilaksanakan kalau terjadi seperti judicial review itu. Tapi kalau kemudian rakyat, ya sudahlah tidak disahkan dengan tandatangan Presiden kita laksanakan saja, itu tidak masalah. Tapi, kalau kemudian rakyat mau ikut dengan UU itu karena tidak ada tandatangan Presiden kok, yang tanggung jawab siapa?

Anda mengkhawatirkan putusan MK, terutama bila mengabulkan judicial review, tidak dapat dieksekusi?

Ya, justru bentuk keputusan itu sendiri, materinya itu apa selain mengabulkan judicial review? Kalau mengabulkan, berarti kan harus ada tindak lanjutnya. Kalau hakim mengatakan, Anda dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman 15 tahun begitu. Terdakwanya sudah ada. Kalau ini dikatakan mengabulkan gugatan penggugat, terus apa? Karena dalam Perma No.2/2002 tidak disebutkan apa yang harus dinyatakan dalam pengabulan itu. Sebetulnya, ini merupakan suatu ujian bagi Pasal 20 ayat (5) dan Perma No.2/2002.

Lalu, pencabutan UU atau penghapusan pasal tertentu dalam UU yang di-judicial review bagaimana pelaksanaannya?

Kalau pencabutan UU berarti dicabut semua, berarti semuanya. Atau pencabutan dengan penggantian. Kalau kita ngomong pencabutan itu hanya dua, pencabutan tanpa pengaturan kembali, jadi dicabut dan tidak diatur lagi. Tapi, pencabutan dengan pengaturan kembali. Berarti semua dicabut dan diatur kembali, walaupun pengaturan kembali ini semua pasal dalam UU yang lama bisa dimasukkan di situ. UU baru bentuknya. Tapi kalau perubahan, maka perubahan itu bisa hanya sekian pasal atau menambah pasal atau mengganti rumusan pasal itu atau menghapuskan pasal itu.

Artinya, semua itu harus dilakukan dengan UU yang baru?

Harus dengan UU yang baru dan prosedurnya juga dengan prosedur yang berlaku. Jadi, kalau prosedur membuat RUU biasa itu harus ada permohonan prakarsa lebih dahulu atau kalau DPR dari komisi atau gabungan komisi atau sepuluh orang anggota Baleg membuat RUU itu kemudian harus diajukan. Prosedurnya sama. Kalau sekarang pakai Keppres No.188, kalau di DPR pakai Tata Tertib DPR No.3A itu. Kalau sudah itu kemudian oleh Setneg diberikan kepada DPR, disetujui bersama dalam dua sidang, diserahkan kepada Presiden, disahkan dan diundangkan. Prosedur itu harus ada.

Masih terkait dengan judicial review, bagaimana jika UU bukanlah bertentangan dengan UUD tapi dengan Tap MPR, seperti kasus gugatan judicial review UU No.30/2002 oleh KPKPN. Bagaimana pandangan Anda?

Nah, oleh karena kita tidak hanya melihat pada aturan yang sudah tertuang dalam konstitusi ini. Tapi kita harus kembali pada sejarah hukum ketatanegaraan, sejarah pembentukan peraturan-peraturan hukum yang ada di Indonesia. UUD ini dibentuk bahwa bagaimana kalau UU bertentangan dengan UUD saja. Karena pada dasarnya, visinya anggota MPR ini atau gagasan MPR ke depan itu keputusan MPR tidak ada lagi dalam hirarki aturan hukum Indonesia.

Jadi, tidak ada kenapa mesti UU-nya melanggar Tap MPR. UU hanya bisa melanggar konstitusi. Jadi, di sini kita harus melihat pada UU KPTPK (UU No.30/2002) itu dari adanya Tap MPR No.11 itu karena pada waktu itu secara sejarah ketatanegaraan memang MPR berwenang membuat keputusan-keputusan MPR yang namanya keputusan atau ketetapan MPR.

Jadi, setiap judicial review atas UU yang dianggap bertentangan Tap MPR dapat diajukan ke MK?

Ya, karena sebetulnya apa yang dirumuskan di dalam Tap MPR adalah semua kebijakan-kebijakan garis-garis besar daripada haluan negara untuk melaksanakan konstitusi itu. Kalau konstitusi itu hanya mengatur garis besar saja kemudian diberikan tugas kepada Presiden karena Tap MPR sebetulnya hanya mengikat Presiden. Nanti, kalau tidak ada Tap MPR, Presiden langsung melaksanakan UUD diatur lebih lanjutnya dalam UU.

Ke depan, Tap MPR sudah tidak ada lagi. Artinya, MPR sudah tidak lagi menerbitkan Tap MPR?

Tap MPR itu kalau dia mempunyai kekuatan mengatur ke luar dari lembaga MPR itu pada dasarnya tidak bisa karena MPR itu hanya mengatur Presiden saja. Tapi kalau Tap MPR itu pengangkatan Presiden, pengangkatan wakil Presiden itu kan mestinya pakai apa? Karena, yang melantik Presiden dan wakil Presiden kan MPR. Apakah bentuknya hanya berita acara pelantikan saja atau dituangkan dalam Tap MPR. Itukan bisa juga.

Kemudian, mestinya ada Tap MPR juga yang memilih Presiden. Kalau Pasal 8 dikatakan dalam hal terjadi kekosongan wakil Presiden selambat-lambatnya dalam 60 hari MPR menyelenggarakan sidang untuk memilih wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden. Jadi, yang memutuskan MPR juga, kemudian MPR melantik juga nantinya.

Kemudian, kalau ayat (3), jika Presiden atau wakil Presiden mangkat, berhenti dan diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan pelaksanaan tugas Presiden dilaksanakan Menteri Dalam Negri, Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan bersama-sama. Selambat-lambatnya 30 hari setelah itu MPR menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan wakil Presdien dari dua calon pasangan yang telah lulus pemilu.

Jadi, Tap MPR masih bisa dianggap sebagai sumber hukum?

Sebetulnya tidak. Kalau sumber hukum berarti UU mengacu pada Tap MPR ini, ya nggak karena itu Tap pengangkatan biasa.

Artinya, Tap MPR nantinya sudah di luar hirarki perundang-undangan?

Dari awal memang Tap MPR sebetulnya di luar hirarkhi perundang-undangan karena sifatnya aturan-aturan dasar negara. Dia hanya memberikan perintah kepada Presiden. Jadi, Tap MPR sebenarnya aturan-aturan dasar yang tidak mengikat langsung kepada masyarakat sendiri. Tetapi, ada Tap-Tap MPR yang kemudian isinya mengatur umum, itu salah sebetulnya.

Bagaimana implikasi hukum dari dicabutnya Tap MPR, mengingat banyak Tap MPR yang penting, misalnya Tap MPR mengenai Sumber Daya Alam (SDA)?

Tap-Tap ini, kalau Tap soal SDA itu sebetulnya dalam Pasal 6 memerintahkan kepada DPR dan Presiden untuk mengubah semua peraturan perundang-undangan yang mengatur di bidang sumber daya alam dan pembaharuan agraria. Itu semua UU dan peraturan pelaksanaannya diubah. Jadi, Tap ini memberikan kewenangan kepada Presiden dan DPR untuk membentuk UU dan peraturan pelaksanaannya. Semua yang ada harus diubah sesuai dengan kondisi sekarang. Maka Tap ini sebetulnya kalau dicabut jadi rawan. Ya, kalau UU-nya sudah ada, kalau ini belum ada kan menjadi sulit.

Secara perundang-undangan bisa dinyatakan Tap ini bisa berlaku sampai kalau semua UU dan peraturan pelaksanaanya sudah dirubah. Siapa nanti yang mencabut Tap ini? Secara lembaga, MPR yang akan datang bisa mencabut Tap ini. Karena dia toh tap MPR, walaupun keanggotaannya berubah. Jadi kalau dalam hukum administrasi itu lembaganya bisa berubah tapi fungsinya itu masih ada. Fungsi ini harus dilaksanakan.

Dalam disertasi Anda dinyatakan bahwa Tap MPR tentang Tata Urutan Perundang-undangan bertentangan dengan UUD. Bisa Anda jelaskan dengan ringkas?

Tap III (Tap MPR No.III/2000, red) itu mengatakan bahwa letak Perpu itu berada di bawah UU. Sedangkan, baik Tap III maupun Tap No.XX/MPRS/1966 itu meletakkan Tap MPR di bawah UUD. Jadi, kalau Tap MPR itu letaknya di bawah UUD berarti dia tidak boleh bertentangan dengan UUD itu sendiri. Dalam UUD '45 itu, walaupun sudah direvisi empat kali, Pasal 22 itu tidak pernah diubah sama sekali.

Dalam Pasal 22 dikatakan, dalam hal ihwal kegentingan memaksa Presiden membentuk Perpu. Dan, penjelasannya mengatakan Perpu itu dibentuk dalam keadaan noodverordeningsrecht Presiden yang kekuatannya sama dengan UU. Jadi otomatis kalau UUD sendiri tidak mengubah itu kenapa Tap MPR yang letaknya di bawah UUD dia mengubah kedudukan itu, mengubah hirarkhi Perpu di bawah UU. Jadi, yang harus di-judicial review pertama kali pada MK kan Tap ini sebetulnya.

(Amr)

 

Tags: