Maria Hartiningsih: ‘Pemerintah Tidak Serius Menangani Masalah HAM Perempuan'
Utama

Maria Hartiningsih: ‘Pemerintah Tidak Serius Menangani Masalah HAM Perempuan'

Ketika diberitahu pertama kali memenangkan penghargaan Yap Thiam Hien Award, untuk beberapa saat Maria Margaretha Hartiningsih tidak bisa bicara. Ia belum yakin mendapatkan penghargaan yang begitu prestisius.

Oleh:
CR1
Bacaan 2 Menit
Maria Hartiningsih: ‘Pemerintah Tidak Serius Menangani Masalah HAM Perempuan'
Hukumonline

"Maria adalah seorang wartawan yang mampu mendayagunakan peran dan pribadinya dalam tugas-tugas yang menyemai dan menyebarluaskan ide-ide tentang kemanusiaan dan hak asasi manusia," tulis Dewan Juri --beranggotakan Prof. Sutandyo Wignjosoebroto, Prof. Azyumardi Azra, Prof. Harkristuti Harkrisnowo dan Asmara Nababan -- dalam pertimbangannya.

Memang, inilah pertama kalinya wartawan menerima Yap Thiam Hien Award. Sebagai wartawan yang sejak berkiprah di Kompas sejak 15 Juni 1984, selama ini tulisan-tulisan Maria banyak terfokus pada masalah anak dan perempuan, yang ia sebut sebagai "isu-isu marjinal". Ia mendalami isu perempuan terutama setelah membaca buku The Rights of Women karya Mary Wollstonecraft.

Bahkan kemudian mengantarkan dirinya lulus dari pasca sarjana bidang kajian wanita dari Universitas Indonesia. Toh, Maria masih melihat ada yang kurang: Pemerintah kurang serius menangani hak-hak perempuan. Indikasinya antara lain terlihat dalam proses legislasi perundang-undangan yang menyangkut perempuan.

Untuk mengetahui pandangannya mengenai masalah tersebut, hukumonline mewawancarai Maria usai menerima piagam penghargaan dilanjutkan dengan wawancara lewat telepon. Berikut petikannya:

Anda meraih penghargaan Yap Thiam Hien Award. Bagaimana Anda menyikapinya?

Menurut saya penghargaan ini sangat prestigious walau saya tidak tahu pendapat orang lain. Dulu saya selalu mengejar-ngejar mereka yang menerima penghargaan ini dan beberapa kali saya menulis. Saya sendiri merasa seperti punya beban, tetapi dengan beban tersebut membuat menjadi counter productive. Tapi dengan atau tanpa penghargaan ini sama saja. Terus terang, saya tidak pernah berpikir akan  mendapat penghargaan ini.

Anda dinilai menjadi human rights educator, terutama tulisan-tulisan Anda tentang HAM perempuan dan anak.  Bagaimana sebenarnya Anda melihat masalah ini?

Perempuan selama ini belum pernah dilihat hak asasinya. Saya menekuni perkembangan bidang perempuan secara serius sudah sejak lima tahun ini. Tetapi belum ada perubahan-perubahan serius dalam masalah ini. Sebenarnya tulisan saya tidak hanya mengenai perempuan saja tetapi perspektifnya lebih ke arah mereka yang  dikalahkan, mereka yang menjadi korban.  Perspektif saya umumnya adalah perspektif korban. Pelanggaran terhadap perempuan masih sangat banyak dan perjuangannya belum apa-apa. Masih sangat panjang. Saya sendiri tidak yakin persoalan-persoalan ini akan selesai dalam waktu dekat.

Menurut Anda, kenapa edukasi HAM perempuan kurang mendapat perhatian?

Saya kira kalau disebut tidak mendapat perhatian sama sekali, nggak juga. Cuma, belum cukup.

Menurut Anda produk perundang-undangan mana saja yang perlu dikritisi dalam kaitan dengan HAM perempuan?

Banyak. Saya garis bawahi saat ini adalah RUU Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang telah selesai di DPR. Tetapi sampai sekarang saja pemerintah tidak merespon. Lalu  kalau kita tinjau ada sejumlah Peraturan Daerah (Perda) yang mengerikan yang menjadikan perempuan sebagai penyebab dari persoalan moralitas. Dan baru-baru ini adalah Amandemen KUHP yang isinya banyak menyudutkan kaum perempuan. Seorang teman yang pernah melakukan penelitian di daerah Jawa Timur mengatakan bahwa banyak pejabat daerah yang jika ditanyakan mengenai kesetaraan gender menjawab setuju. Tetapi jika ditanyakan bagaimana dengan pemberdayaan perempuan, jawabannya malah ingin mengembalikan kedudukan perempuan supaya tidak terlalu berani. Mereka tidak pernah tahu persoalannya.

Apa penyebab mandegnya proses legislasi sejumlah RUU yang menyangkut kepentingan perempuan?

Sebenarnya RUU Anti KDRT sudah selesai, namun tinggal menunggu dari pemerintahnya, apakah mereka benar-benar konsisten akan masalah ini. Sekarang kita tinggal melihat apa mau dari pemerintah. Saya rasa mereka memang menganggap tidak serius. RUU Buruh Migran saja contohnya, ada sembilan organisasi terkait tapi koordinasinya malah tidak karuan. Mereka egois, maunya merasa paling hebat. Jadinya, RUU tersebut malah tidak ditindaklanjuti.

Bukankah pemerintah sudah membuat Kementerian negara Pemberdayaan Perempuan? Apakah Anda melihat fungsinya tidak jalan atau komitmen orang-orangnya yang kurang?

Kalau dikatakan tidak jalan, tidak juga. Buktinya saja, isu-isu gender sudah banyak disuarakan. Itu berarti ada peningkatan dari semula, dari tidak tahu menjadi tahu.

Bagaimana Anda melihat putusan-putusan pengadilan selama ini dalam perkara yang menyangkut perempuan sebagai korban?

Putusan-putusannya belum ada yang maksimal. Malah, perempuan makin disalahkan. Lihat saja masalah perkosaan, sudah diperkosa masih saja dibilang kalau perempuan yang salah karena dianggap menggoda. Saya rasa hukuman maksimal terhadap pelaku kejahatan terhadap perempuan belum cukup. Tapi saya sendiri tidak setuju dengan hukuman mati bagi pelaku dan tidak pernah setuju. Bukan berarti saya memihak kepada pelaku, tetapi pelaku juga tetap manusia yang seharusnya diberikan kesempatan untuk berbuat baik lagi. Unsur-unsur psikologis dari pelaku harus tetap diperhatikan.

Tetapi seringkali putusan yang tidak berpihak kepada korban dalam kasus perkosaan itu juga dibuat oleh hakim yang beranggotakan perempuan. Apakah ini karena ketidaksamaan visi di kalangan perempuan sendiri?

Sekarang kita harus membedakan gender itu dulu. Ada gender bilogis dan ada gender sosial. Jelas hakim-hakim yang Anda maksud hanya secara biologis bahwa mereka perempuan. Tetapi secara sosial, pandangan mereka masih patriarkis. 

Bagaimana pula Anda melihat kuota 30 persen bagi perempuan di parlemen?

Saya kira implementasi kuota 30 persen seharusnya bukan hanya  di parlemen (DPR) saja tetapi perlu penempatan perempuan di lembaga-lembaga eksekutif. Artinya 30 persen tersebut juga diberikan kepada lembaga-lembaga tinggi lain seperti di departemen-departemen. Nyatanya, penempatan perempuan terutama dalam posisi yang dapat mengambil keputusan hanya bagian kecil saja. Saya kira hanya satu persen.

Ada kekhawatiran dalam implementasi kuota parlemen, nama-nama kalangan perempuan dimasukkan sekedar memenuhi kuota. Bukan nomor jadi. Kan sama saja?

Betul sekali, kekhawatiran memang muncul. Banyak partai yang tahu soal affirmative action. Tetapi mereka tidak benar-benar mengerti masalah ini. Jadi, sekedar pemenuhan kuota saja. Sekarang kembali lagi ke visi masing-masing partai. Apakah benar ingin mempedulikan HAM perempuan atau tidak.

Tetapi keputusan empat anggota Dewan Juri penghargaan itu sudah bulat. Pada Rabu malam, 10 Desember lalu, piagam penghargaan itu resmi diserahkan kepada Maria. Wartawati harian Kompas itu dinilai telah ikut secara konsisten dan terus menerus mengembangkan pendidikan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia lewat tulisan-tulisannya. Dewan Juri menyebut Maria Hartiningsih sebagai human rights educator.
Tags: