Masalah Hukum Penundaan Kontrak Akibat Penyebaran Covid-19
Utama

Masalah Hukum Penundaan Kontrak Akibat Penyebaran Covid-19

Force majeur bukanlah keadaan yang terjadi demi kontrak, melainkan demi hukum. Sepanjang tidak diperjanjikan lain, aturan kahar dalam KUH Perdata berlaku.

Oleh:
Hamalatul Qur'ani/Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit

Pertanyaannya, sejak kapan halangan itu bisa dikategorikan force majeur? Apakah ada parameter tertentu? Menurut Ricardo, force majeur bisa berlaku ketika regulator mengatur hal tersebut. Regulatornya mungkin saja Presiden, atau gubernur di level provinsi. Misalnya, jika Gubernur DKI Jakarta menyatakan Jakarta di-lockdown. Dari kebijakan ini, otomatis kegiatan transportasi banyak yang diberhentikan. Sehingga, akan ada banyak sekali kegiatan di hotel-hotel, tiket pesawat yang sudah terlanjur dibeli, terpaksa harus memilih dua kemungkinan yakni reschedule (penundaan pelaksanaan)atau frustrated (mengaggap objek yang diperjanjikan musnah).

“Apakah tiket pesawat, sewa hotel itu bisa di reimburse atau di reschedule? Mau tidak mau otomatis harus bisa dilakukan. Karena ketidak mampuan dia untuk menggunakan tiket tadi tidak terjadi atas kemauan dia,” jelas Ricardo.

Force Majeur Demi Hukum

Ricardo juga menyebutkan bahwa pada prinsipnya  suatu kondisi force majeur bukanlah semata-mata keadaan yang terjadi demi kontrak, melainkan terjadi demi hukum. Dasar hukumnya jelas termaktub dalam Pasal 1245 KUHPerdata. Pasal ini menyebutkan: “Tidaklah biaya, rugi dan bunga harus digantinya, apabila karena keadaan memaksa [overmacht] atau karena suatu keadaan yang tidak disengaja, si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang”.

(Baca juga: Ketentuan Penetapan Bencana Nasional Menurut Undang-Undang).

Meskipun para pihak yang terlibat dalam suatu transaksi bisnis tidak pernah memperjanjikan kondisi pandemik covid-19 sebagai bagian dari force majeur, pembebasan itu tetap berlaku berdasakan Pasal 1245 KUHPerdata. “Semua pelaku usaha harus mematuhi, kalaupun ada keberatan dari sisi teknis hukum terkait hak dan kewajiban dalam kontrak, pihak tersebut tetap harus mengikuti upaya pembebasan semua pihak melalui force majeur,” jelasnya.

Dosen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Abdul Salam, menjelaskan Pasal 1245 itu masuk dalam bagian Buku III KUHPerdata yang sifatnya melengkapi perjanjian. Artinya, sepanjang para pihak tidak mengatur sebaliknya, maka ketentuan Buku III itu, khususnya terkait force majeur,akan berlaku. Bila perjanjian misalnya mengatur pandemi bukan bagian dari force majeur, maka harus berlaku demikian. “Akan tetapi, kalau tidak diperjanjikan para pihak, maka pandemi itu bisa dianggap force majeur,” jelasnya.

Force majeur atau keadaan memaksa memiliki dua sifat, yakni umum dan khusus. Force majeur yang sifatnya umum berkaitan dengan act of god, sementara force majeur yang bersifat khusus berhubungan dengan act of human. Berhubung dalam kasus pandemik corona pemerintah Indonesia mengeluarkan aturan, maka force majeur konteks corona disebut Abdul masuk dalam kategori khusus (act of human).

Jika dilihat dari segi posisi kasus, dikenal pula force majeur relatif yang unsurnya difficulty (kesulitan), dan force majeur absolut yang memiliki anasir impossibility (ketidakmungkinan). “Kalau corona ini, para pihak masih bisa melakukan pekerjaan, tapi sulit, karena takut tertular virus. Jadi ukurannya bukan impossible, tapi difficulties,” jelasnya.

Tags:

Berita Terkait