Masker untuk Cegah Corona, BPKN Ingatkan Pasal 107 UU Perdagangan
Berita

Masker untuk Cegah Corona, BPKN Ingatkan Pasal 107 UU Perdagangan

Ada juga UU Kekarantinaan Kesehatan yang membatasi ruang gerak orang yang dikarantina karena penyakit menular.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi virus corona. Ilustrator: HGW
Ilustrasi virus corona. Ilustrator: HGW

Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) memperingatkan pelaku usaha untuk tidak memanfaatkan kekhawatiran atau kepanikan warga atas ancaman penyebaran virus corona. Jangan sampai peritiswa di beberapa negara terjadi di Indonesia, yakni sulitnya mendapatkan masker di pusat-pusat perdagangan.

Menggunakan masker, sesuai saran Kementerian Kesehatan, merupakan salah satu cara mencegah penyebaran virus corona antarmanusia, terutama ketika batuk dan pilek. Meskipun Pemerintah Indonesia mengklaim belum ada warga yang terinfeksi positif virus mematikan itu, gejala kelangkaan masker mulai terpantau BPKN. Hasil pantauan BPKN sudah ada kelangkaan masker. Meskipun di beberapa apotik dan toko alat kesehatan tersedia, harganya mengalami kenaikan drastic.

Dalam konteks itulah BPKN mengingatkan pelaku usaha untuk memperhatikan Pasal 107 UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Pasal ini berisi ancaman sanksi pidana penjara maksimal 5 tahun, dan/atau pidana denda maksimal 50 miliar rupiah bagi pelaku usaha yang melanggar larangan menyimpan barang kebutuhan pokok atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, atau hambatan lalu lintas perdagangan barang.

(Baca juga: Gara-Gara Virus Corona, Dua Kategori WNA yang Visa Kunjungannya Dihentikan Sementara).

Pasal ini berkaitan dengan ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan yang isinya berupa larangan menimbun barang pada kondisi tertentu. Wakil Ketua BPKN, Rolas B. Sitinjak mengingatkan para pelaku usaha berkenaan dengan ancaman pasal itu. “Larangan tersebut dimaksudkan untuk menghindari adanya penimbunan barang yang akan menyulitkan konsumen dalam memperoleh barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting, dalam hal ini masker,” ujarnya dalam pernyataan resmi yang diterima hukumonline.

Bahkan, Rolas mengingatkan sanksi yang dapat dikenakan bukan hanya sanksi pidana sebagaimana dimaksud Pasal 107 UU Perdagangan, tetapi juga sanksi administratif berupa denda, penghentian kegiatan produksi atau peredaran, atau pencabutan izin.

(Baca juga: Potensi Sengketa Berbasis Daring Besar, BPKN Jajaki Mekanisme ODR).

Meskipun demikian BPKN memaklumi kemungkinan terjadinya kelangkaan ini akibat di satu sisi ada kepanikan massa yang khawatir dampak dan penyebaran virus corona, dan di sisi lain produsen belum siap menambah produksinya. Kondisi ini secara natural dapat menopang kenaikan harga. Tetapi BPKN tidak menutup mata atas penyebab lain: perilaku menimbun barang untuk mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi.

Koordinator Komisi Komunikasi dan Edukasi BPKN, Arief Safari, mengimbau pelaku usaha untuk tidak melakukan penimbunan dan mengambil keuntungan di luar kewajara. Perbuatan itu tak hanya berpotensi melanggar hukum, tetapi juga melanggar etika bisnis.

(Baca juga: Putusan-Putusan MA tentang Penimbunan BBM).

Berdasarkan penelusuran hukumonline ke layanan putusan daring Mahkamah Agung, belum ada satu orang pun yang dihukum berdasarkan UU Perdagangan karena melakukan penimbunan barang tertentu. Tetapi bukan berarti tidak pernah ada orang yang dihukum ketika menimbun barang kebutuhan pokok. Selama ini sudah banyak pelaku usaha atau orang yang dihukum pengadilan karena menimbun bahan bakar minyak (BBM). Pengadilan pada umumnya menggunakan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas.

Karantina Kesehatan

Secara normatif, Pemerintah punya kewajiban mencegah masuknya wabah penyakit yang berpotensi menimbulkan kedaruratan medis di masyarakat. Salah satu yang dapat dilakukan Pemerintah adalah karantina kesehatan. Kekarantinaan kesehatan dilakukan antara lain melalui isolasi dan pembatasan sosial. Inilah yang antara lain diatur dalam UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

UU ini mengatur bagaimana pengawasan yang harus dilakukan terhadap kedatangan manusia baik melalui pesawat udara dari wilayah negara asing, maupun melalui alat transportasi darat. Pasal 39 UU Kekarantinaan Kesehatan menegaskan bahwa setiap orang yang datang dari negara atau wilayah kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia atau bersifat endemis, Pejabat Karantina Kesehatan melakukan beberapa tindakan: penapisan, pemberian kartu kewaspadaan kesehatan; pemberian informasi tentang tata cara pencegahan, pengobatan, dan pelaporan suatu kejadian darurat; dan pengambilan spesimen. Jika sudah menemukan gejala klienis sesuai jenis penyakit kedaruratan kesehatan masyarakat, Pejabat Karantina melakukan rujukan dan isolasi.

Pertanyaan dasarnya tentu saja, apakah warga negara Indonesia yang dipulangkan dari Wuhan, Tiongkok, masuk kategori warga yang dikarantina sesuai maksud UU Kekarantinaan Kesehatan? Dalam pernyataan resmi, Kementerian Kesehatan menggunakan istilah ‘observasi’ terhadap WNI yang untuk sementara ditempatkan di Natuna, Kepulauan Riau. Berdasarkan UU No. 6 Tahun 2018, wawancara dan observasi merupakan fasilitas yang ditemui dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan.

Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan, Anung Sugihantono, mengatakan pemilihan lokasi observasi di Natuna telah mempertimbangkan jarak dan waktu. Proses observasi direncanakan berlangsung selama 14 hari. “Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan pedoman kegiatan untuk WNI di Natuna. Logistik yang dibutuhkan juga terus diupdate untuk dipenuhi,” jelang Anung.

Tags:

Berita Terkait