Masukan PP INI terhadap RUU Hukum Acara Perdata
Terbaru

Masukan PP INI terhadap RUU Hukum Acara Perdata

Seperti soal pengaturan definisi pejabat umum adalah akta notaris, hingga akta otentik.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
PP INI saat rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Panja RUU HAP di ruang Komisi III, Kamis (7/4/2022). Foto: RES
PP INI saat rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Panja RUU HAP di ruang Komisi III, Kamis (7/4/2022). Foto: RES

Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Perdata (RUU HAP) terus bergerak menyerap masukan dalam penyempurnaan draf RUU dari berbagai stakeholder. Salah satunya, Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (PP INI). Sejumlah masukan disodorkan PP INI secara konkrit soal perbaikan norma dalam pasal per pasal draf RUU. Mulai soal kaitannya pelaksanaan jabatan notaris hingga kaitannya akta notaris.

Ketua Bidang Organisasi INI, Taufik mengatakan sejumlah usulan berkaitan dengan tugas pelaksanaan jabatan notaris. Antara lain beberapa hal. Pertama, terkait dengan jabatan soal definisi pejabat umum. INI mengusulkan adanya perubahan istilah pejabat umum. Pasalnya istilah pejabat umum tidak ditemukan pada UU manapun. Tapi, justru ditemukan frasa “pejabat umum” dalam peraturan jabatan notaris yang menyebutkan notaris satu-satunya pejabat umum.

“Kami ingin mengembalikan posisi pejabat umum adalah satu-satunya pejabat yang diberi wewenang pembat akta sesuai dengan ketentuan UU sepanjang pembuatan akta tidak dikecualikan kepada pejabat lain oleh UU. Dalam penjelasannya Pasal 1 angka 20, pejabat umum adalah notaris,” ujarnya dalam rapat dengar pendapat umum dengan Panja RUU HAP di Komplek Parlemen, Kamis (7/4/2022).

Kedua, INI mengusulkan perubahan dalam Pasal 1 angka 21 menjadi, “akta otentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk dan sifat yang ditentukan oleh UU, dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat di mana akta itu dibuat, dan dicatat dalam buku yang disediakan untuk itu.

Baca Juga:

Ketiga, usulan penambahan satu ayat pada Pasal 2. Dalam Pasal 2 ayat (3) yang menyebutkan “Tidak seorang pun boleh dipaksa untuk menggugat orang lain”. Taufik beralasan dalam praktik di peradilan, notaris acapkali menjadi bagian pihak yang digugat. Banyak pihak bersengketa, tapi notaris yang tidak berkaitan menjadi pihak tergugat. Alasannya banyak pihak agar notaris patuh terhadap putusan pengadilan.

Padahal, kata Taufik, gugat adalah hak yang dapat atau tidak digunakan. Tapi dalam praktiknya, terkesan ada pemaksaan menggugat notaris. Alhasil, notaris kerap dijadikan tergugat. Lagi-lagi Taufik beralasan notaris tidak ada kaitannya dengan perkara, tapi digugat dengan alasan kurang pihak. “Kami ingin mengajukan usul adanya kepastian tidak boleh memaksakan untuk menggugat orang lain karena bukan kehendak bersangkutan,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait