Masyarakat Sipil Ingatkan Pentingnya Perlindungan Terhadap Pengungsi dan Pencari Suaka Rohingya
Terbaru

Masyarakat Sipil Ingatkan Pentingnya Perlindungan Terhadap Pengungsi dan Pencari Suaka Rohingya

Pemantauan Komnas Perempuan terhadap pengungsi Rohingya di Kabupaten Aceh Utara, Aceh Timur dan Kota Langsa Provinsi Aceh pada akhir 2017 terdapat sejumlah temuan, salah satunya kekerasan seksual di lokasi pengungsian.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Massa berdemo menolak Pimpinan Pasukan Junta Militer Myanmar (Tatmadaw) Jenderal Min Aung Hlaing yang hadir dalam KTT ASEAN di Gedung Sekretariat ASEAN, Jakarta, tahun lalu. Foto: RES
Massa berdemo menolak Pimpinan Pasukan Junta Militer Myanmar (Tatmadaw) Jenderal Min Aung Hlaing yang hadir dalam KTT ASEAN di Gedung Sekretariat ASEAN, Jakarta, tahun lalu. Foto: RES

Gejolak yang terjadi di Myanmar memaksa sebagian warganya mengungsi ke luar negeri, salah satunya etnis minoritas Rohingnya. Demi menyelamatkan diri dari rezim militer Myanmar mereka lari ke berbagai negara termasuk Indonesia. Etnis Rohingya yang masuk ke Indonesia antara lain berada di wilayah Aceh.

UNHCR Indonesia mencatat otoritas Indonesia beberapa kali menyelamatkan pengungsi Rohingnya yang terombang-ambing di laut di tahun 2015, 2018, dan 2020. Pada Juni 2021, tercatat 81 pengungsi Rohingya diselamatkan di pantai timur Aceh. Desember 2021 otoritas Indonesia juga menyelamatkan 105 pengunsi Rohingya yang berada di atas perahu di wilayah Aceh Utara.

Data UNHCR Indonesia per November 2021 mencatat ada 13.175 orang yang masuk ke Indonesia terdiri dari 9.973 pengungsi dan 3.202 pencari suaka. “Sebanyak 72 persen dari pengungsi di Indonesia berasal dari 3 negara yakni Afganistan 57 persen, Somalia 10 persen, dan Myanmar 5 persen,” begitu kutipan sebagian data yang dilansir laman unhcr.org.

Direktur Asia Justice and Rights (AJAR), Galuh Wandita, mengajak masyarakat untuk mengingat penderitaan masyarakat Rohingya baik yang berada di daerah konflik maupun yang kini sedang berada di pengungsian. “Walaupun menghadapi konflik yang besar mereka masih memiliki mimpi dan harapan yang juga besar untuk dapat hidup normal sebagaimana masyarakat dunia lainnya, termasuk mendapatkan akses pendidikan yang layak,” kata Galuh dalam acara Peringatan Genosida 25 Agustus Terhadap Warga Rohingya - Myanmar di Jakarta, Kamis, (25/8/2022) sebagaimana dikutip laman komnasperempuan.go.id.

Acara itu digelar untuk membangun pengetahuan secara partisipatoris publik secara luas tentang transitional justice bersama generasi muda dan perempuan pengungsi Rohingya. Kegiatan ini juga bertujuan untuk menarik dukungan solidaritas masyarakat Indonesia dalam upaya penyelesaian krisis demokrasi dan krisis kemanusiaan di Myanmar. Kegiatan ini juga diharapkan dapat menghimpun kerja sama yang berbasis pada prinsip-prinsip HAM dari berbagai pihak untuk dapat mendorong proses pengungkapan kebenaran, mengakhiri impunitas, dan memulihkan korban.

Ketua Perkumpulan Suaka, Atika Yuanita menjelaskan Indonesia merupakan negara ketiga yang menampung pengungsi Rohingya terbanyak setelah Afganistan dan Somalia. Namun, pemenuhan HAM bagi para pengungsi masih banyak yang belum terpenuhi. Padahal, Indonesia memiliki landasan konstitusional sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 Republik Indonesia yang mengamanatkan untuk turut serta dalam melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

“Belum ada aturan untuk pemenuhan HAM pada pengungsi, seperti hak untuk menikah, pendidikan, dan pekerjaan masih terbatas. Perkumpulan Suaka masih terus berupaya mendorong Pemerintah Indonesia untuk memenuhi HAM pengungsi,” ujar Anita.

Tags:

Berita Terkait