Materi Pamungkas PKPA Angkatan VI, Mengenal Sejarah Organisasi Advokat
Utama

Materi Pamungkas PKPA Angkatan VI, Mengenal Sejarah Organisasi Advokat

Mulai dari masa orde lama, orde baru, dan reformasi. UU Advokat mengamanatkan pembentukan wadah tunggal organisasi advokat yang kemudian melahirkan organisasi advokat yang diberi nama Peradi.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
PKPA IV hari terakhir ini dengan materi 'Fungsi dan Peran Organisasi Advokat” yang disampaikan Wakil Ketua DPN Peradi Bidang PKPA, Sertifikasi Advokat dan Kerja Sama Perguruan Tinggi, Shalih Mangara Sitompul, Jumat (18/12). Foto: RES
PKPA IV hari terakhir ini dengan materi 'Fungsi dan Peran Organisasi Advokat” yang disampaikan Wakil Ketua DPN Peradi Bidang PKPA, Sertifikasi Advokat dan Kerja Sama Perguruan Tinggi, Shalih Mangara Sitompul, Jumat (18/12). Foto: RES

Pendidikan khusus profesi advokat (PKPA) angkatan VI yang diselenggarakan Hukumonline bekerja sama dengan Peradi dan Universitas Yarsi berakhir. PKPA yang digelar secara daring untuk kelima kalinya ini merupakan gelombang B yang berlangsung sejak 23 November 2020 hingga 18 Desember 2020.    

Materi pamungkas dalam PKPA hari terakhir ini bertema “Fungsi dan Peran Organisasi Advokat” yang disampaikan Wakil Ketua DPN Peradi Bidang PKPA, Sertifikasi Advokat dan Kerjasama Perguruan Tinggi, Shalih Mangara Sitompul, Jumat (18/12/2020).

Shalih mengawali materinya dengan memaparkan sejarah organisasi advokat di Indonesia. Organisasi advokat di Indonesia terbentuk pertama kali pada 30 Agustus 1964 yang ditandai dengaan berdirinya Persatuan Advokat Indonesia (Peradin). Pada kongres yang digelar tahun 1977 terjadi perdebatan yang menimbulkan perbedaan yang tajam antar anggota Peradin. Ujungnya, kelompok yang tidak setuju keluar dari Peradin dan mendirikan organisasi advokat bernama Himpunan Penasehat Hukum Indonesia (HIPHI). Organisasi ini dibangun akibat adanya dikotomi antara pengacara praktik dan advokat.

Sejak kongres tahun 1977, Shalih menyebut Peradin seolah hilang ditelan bumi, padahal organisasi ini tidak bubar atau dibubarkan. Akibatnya, periode 1977-1985 tidak ada organisasi advokat yang tergolong aktif di Indonesia. Pada era orde baru ini, advokat diangkat oleh Menteri Kehakiman dengan menerbitkan Surat Keputusan (SK).

Mekanisme pengangkatan advokat oleh pemerintah ini menjadi perhatian kalangan advokat, dan muncul pertanyaan, antara lain bagaimana jika pencari keadilan yang didampingi advokat berhadapan dengan pemerintah? Sebab, pada masa itu Menteri Kehakiman berwenang memecat advokat.

Sekitar tahun 1985, muncul organisasi advokat baru bernama Ikatan Advokat Indonesia (IAI) yang digagas Ali Said dan Ismael Saleh. Selain itu, sejumlah tokoh Peradin masuk ke Ikadin dan digelar Musyawarah Nasional (Munas) pertama tahun 1990. Pada Munas kedua tahun 1995 muncul perdebatan dalam forum yang berujung pecahnya Ikadin. Sebagian anggota Ikadin keluar dan membentuk Asosiasi Advokat Indonesia (AAI).

“Pada era orde baru tidak ada kewajiban bagi advokat untuk menjadi anggota organisasi advokat,” kata Shalih. (Baca Juga: Pentingnya Pemahaman ‘Branding’ untuk Calon Advokat)

Dia menjelaskan pada masa orde baru sebelum menjadi advokat terlebih dulu harus menjadi pengacara praktik. Shalih mengaku sempat menjadi pengacara praktik selama 4 tahun. Wilayah kerja pengacara praktik sangat terbatas yakni hanya di wilayah pengadilan tinggi dimana pengacara tersebut diambil sumpahnya. Pengacara praktik yang dinyatakan lulus ujian mendapatkan tanda pengenal pengacara praktik dan SK dari Pengadilan Tinggi.

Kala itu, pengacara praktik belum boleh menjadi anggota Peradin dan AAI karena statusnya belum menjadi advokat. Mengingat jumlahnya yang semakin banyak, pada era orde baru ini, mereka membentuk Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI). Pada masa itu totalnya ada 7 organisasi yang didirikan advokat dan pengacara praktik melputi Ikadin, AAI, IPHI, AKHI, HKHPM, SPI, dan HAPI. Ketujuh organisasi advokat itu meminta pemerintah dan DPR untuk membentuk UU yang memberi landasan hukum bagi advokat. Tapi sampai orde baru berakhir tuntutan itu tak kunjung terwujud.

Bergulirnya reformasi dan kebijakan Presiden B.J Habibie yang mempercepat penyelenggaraan Pemilu tahun 1999 menjadi perhatian kalangan advokat. Situasi tersebut dinilai sebagai peluang untuk mendorong UU Advokat. Alhasil, organisasi advokat mendorong anggotanya untuk ikut menjadi peserta Pemilu Legislatif tahun 1999. Beberapa advokat yang berhasil mendapat kursi legislatif, antara lain Teras Narang, Hamdan Zoelva, dan Akil Mochtar. “Singkatnya advokat yang berhasil mendapat kursi di Senayan memperjuangkan RUU Advokat dan berhasil disahkan menjadi UU No.18 Tahun 2003,” kata dia.

Menurut Shalih, saat itu banyak pihak yang berkepentingan terhadap UU Advokat, sehingga ketentuan yang ada dalam UU ini dianggap tidak sesuai dengan harapan advokat. Misalnya, salah satu usulan advokat ketika itu agar diatur usia maksimal untuk diangkat menjadi advokat yakni 40 tahun. Tapi, dalam UU No.18 Tahun 2003 untuk dapat diangkat menjadi advokat berusia sekurang-kurangnya 25 tahun.

“Tujuan kenapa diusulkan 40 tahun agar yang menjadi advokat itu orang yang berkualitas tinggi dan menjalani proses dari awal,” kata dia.

Shalih menambahkan UU Advokat mengamanatkan dalam waktu paling lambat 2 tahun setelah berlakunya UU Advokat untuk membentuk organisasi advokat. Sebelum organisasi advokat itu terbentuk, UU Advokat memandatkan 8 organisasi advokat meliputi Ikadin, AAI, IPHI, HAPI, SPI, AKHI, HKHPM, dan APSI untuk sementara melaksanakan tugas dan wewenang organisasi advokat.

“Ketentuan ini yang akhirnya melahirkan organisasi advokat yang diberi nama Peradi,” katanya.

Tags:

Berita Terkait