Mau Nyapres, Rizal Ramli Persoalkan Ambang Batas Pencalonan Presiden
Berita

Mau Nyapres, Rizal Ramli Persoalkan Ambang Batas Pencalonan Presiden

Para pemohon meminta Mahkamah agar Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) dan (4) UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 5 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Seorang tokoh, Rizal Ramli berkeinginan mencalonkan diri dalam pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2024 (Pilpres 2024) bersama Abdulrachim Kresna mengajukan uji materi Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold). Pasal itu mensyaratkan sebesar 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari total suara sah hasil pemilu sebelumnya bagi parpol atau gabungan parpol yang mengusungnya.

Kuasa hukum para pemohon, Refly Harun menilai Pasal 222 UU Pemilu, yang mengatur ambang batas pencalonan presiden paling sedikit perolehan kursi 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya, tidak sejalan dengan prinsip keadilan hukum karena mengabaikan hak konstitusional para pemohon untuk mendapat sebanyak-banyaknya alternatif pilihan calon presiden dan wakil presiden (capres dan cawapres).  

“Pasal 222 UU Pemilu ini potensial menghalangi upaya pemohon untuk berkontestasi dalam pemilihan presiden karena harus memenuhi ketentuan ambang batas pencalonan presiden itu,” kata Refly di gedung MK, Senin (21/9/2020). (Baca Juga: MK Kembali Tolak Uji Ambang Batas Pencalonan Presiden)

Refly menilai secara faktual Pasal 222 UU Pemilu telah melanggar Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 telah memberi hak konstitusional kepada partai politik peserta pemilu untuk dapat mencalonkan pasangan capres dan cawapres baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan partai politik lain. “Sepanjang menjadi peserta pemilu, partai politik berhak mengusung pasangan capres dan cawapres,” kata Refly.

Akibat aturan presidential threshold sebesar 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara hasil pemilu sebelumnya (Pemilu 2014) ini, empat partai politik peserta Pemilu 2019 telah kehilangan haknya mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden karena belum menjadi peserta Pemilu. “Sama sekali belum memiliki hak baik suara atau kursi hasil Pemilu 2014. Keempat partai politik tersebut ialah PSI, Perindo, Partai Berkarya, Partai Garuda.”

Secara teoritis, Refly mengingatkan hak yang dijamin konstitusi tidak boleh dihilangkan atau direduksi dalam peraturan yang lebih rendah (setingkat UU). “Ketentuan Pasal 222 UU Pemilu telah menghilangkan hak konstitusional empat peserta Pemilu 2019 yang jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945,” lanjutnya.

Dalam menafsirkan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 itu, menurut Refly tidak terlepas dari penafsiran beberapa putusan MK, diantaranya Putusan MK No. 51-52-59/PUU-VI/2008; Putusan MK No. 53/PUU-XV/2017 yang menggunakan penafsiran sistematis membaca Pasal 6A UUD 1945. Bagi MK, aturan presidential threshold disebut sebagai aturan yang bersifat open legal policy.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait