Media Dituding Sebar Berita Hoax Putusan Pembatasan Internet, Ini Klarifikasi LBH Pers
Berita

Media Dituding Sebar Berita Hoax Putusan Pembatasan Internet, Ini Klarifikasi LBH Pers

Ada 20 media daring diadukan ke Dewan Pers karena dituduh menyebar hoax terkait putusan PTUN Jakarta tentang perlambatan dan pemutusan akses internet di Papua. Karena itu, LLBH Pers membuka Posko Bantuan Hukum bagi Media tersebut.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Gedung PTUN Jakarta: Foto: RES
Gedung PTUN Jakarta: Foto: RES

Putusan PTUN Jakarta bernomor 230/G/2019/PTUN-Jkt pada intinya menyatakan tergugat I (Kementerian Komunikasi dan Informatika), dan tergugat II (Presiden RI) melakukan perbuatan melawan hukum terkait perlambatan dan pemutusan akses internet di provinsi Papua dan Papua Barat pada Agustus dan September 2019.

Putusan yang dibacakan 3 Juni 2020 itu mendapat sorotan publik terutama media karena ini kali pertama PTUN memutus pejabat negara melakukan perbuatan melawan hukum. Kendati demikian, tidak sedikit media yang memberitakan putusan ini malah diadukan ke Dewan Pers karena dianggap menyebar hoax.

Direktur LBH Pers Ade Wahyudin menilai media yang diadukan ke Dewan Pers itu tidak menyebar hoax, tapi kurang akurat dalam pemberitaan. Misalnya, media tersebut menayangkan berita berjudul “PTUN Memerintahkan Jokowi Meminta Maaf.” Ade melihat media yang menulis berita tersebut mengutip gugatan awal yang diajukan koalisi masyarakat sipil ke PTUN Jakarta dimana salah satunya memuat tuntutan agar pemerintah meminta maaf.

Dalam persidangan pendahuluan, Ade menjelaskan majelis PTUN Jakarta menyarankan koalisi untuk memperbaiki gugatan dan mencabut tuntutan terkait permintaan maaf itu karena bukan kewenangan PTUN. Alhasil, koalisi melaksanakan anjuran tersebut dan memperbaiki isi gugatan. Sayangnya, dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PTUN Jakarta gugatan yang ditayangkan bukan hasil perbaikan, tapi masih gugatan awal.

“Pada saat pertama kali diregistrasi, petitum gugatan memang terdapat permintaan menghukum para tergugat meminta maaf secara terbuka kepada masyarakat Indonesia, khususnya Papua dan Papua Barat dan tanggung renteng,” kata Ade Wahyudin ketika dihubungi, Selasa (9/6/2020). (Baca Juga: Putusan Pembatasan Internet di Papua Harus Jadi Pedoman bagi Pemerintah)

Menurut Ade, hal ini yang membuat sebagian media memberitakan putusan PTUN No.230/G/2019/PTUN-Jkt dengan mengutip petium (tuntutan) gugatan koalisi yang belum direvisi itu. Ade menegaskan media yang diadukan ke Dewan Pers itu bukan menyebar hoax, tapi kurang akurat dalam membuat berita. Bagi pihak yang merasa dirugikan, Ade menyarankan untuk melayangkan hak jawab kepada media yang bersangkutan atau bisa juga melapor ke Dewan Pers.

Pada saat pembacaan putusan, Ade menjelaskan media hanya dapat meliput secara daring. Ketika putusan dibacakan, ada pihak yang mengganggu saluran daring tersebut sehingga jurnalis yang meliput tidak dapat mendengar pembacaan putusan secara jelas. Jika berita yang ditayangkan media yang meliput putusan itu kurang akurat, Ade menilai hal ini masuk ranah kode etik, tapi bukan menyebar berita bohong atau hoax. Masyarakat dapat mengoreksi berita itu lewat hak koreksi dan hak jawab.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait