Mediasi Sebagai Penyelesaian Sengketa Kesehatan, Sebuah Keniscayaan
Kolom

Mediasi Sebagai Penyelesaian Sengketa Kesehatan, Sebuah Keniscayaan

Proses mediasi tidak bersifat kaku karena dalam proses mediasi, para pihak diberikan keluwesan dan keleluasaan untuk menentukan tata tertib, aturan main serta merancang kesepakatan akhir dengan dibantu oleh mediator.

Bacaan 5 Menit
Mediasi Sebagai Penyelesaian Sengketa Kesehatan, Sebuah Keniscayaan
Hukumonline

Pasal 29 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa, “Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi.” Penjelasan Pasal tersebut menyatakan bahwa, “Mediasi dilakukan bila timbul sengketa antara tenaga kesehatan pemberi pelayanan kesehatan dengan pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan.

Mediasi dilakukan bertujuan untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan oleh mediator yang disepakati oleh para pihak.” Pengaturan yang terdapat di dalam Pasal 29 Undang-Undang Kesehatan bersifat suatu keharusan. Inti dari keharusan adalah kepastian hukum. Namun, hingga saat ini kepastian hukum tersebut belum terwujud karena ketiadaan peraturan perundang-undangan yang menjelaskan secara lebih lanjut penerapan dari pengaturan tersebut.

Mediasi merupakan implementasi dari nilai luhur bangsa Indonesia yang senantiasa mengutamakan gotong royong, guyub dan musyawarah mufakat dalam menyelesaikan setiap permasalahan. Hal ini tercermin di dalam Pancasila Sila ke-4 yang mengamanahkan musyawarah dan mufakat yang dilandasi oleh hikmat dan kebijaksanaan. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 juga mengamanahkan permusyawaratan.

Pada masa penjajahan Belanda, landasan formil mengenai penerapan mediasi dalam sistem peradilan diatur di dalam Herzien Inlandsch Reglemen (HIR) dan Rechtreglement voor de Buitengewesten (RBg) yang merupakan sumber Hukum Acara Perdata yang berlaku di Indonesia.

Pasal 130 Herzien Inlandsch Reglemen (HIR) dan Pasal 154 Rechtreglement voor de Buitengewesten (RBg) menghendaki agar penyelesaian perkara dilakukan dengan perdamaian daripada melalui proses pengadilan (proses putusan biasa). Ketentuan tersebut mengamanahkan agar para pihak terlebih dahulu menyelesaikan sendiri terlebih dahulu permasalahannya agar dapat terwujud kesepakatan, tanpa melalui campur tangan hakim.

Selanjutnya kesepakatan perdamaian itu diserahkan kepada hakim untuk diimplementasikan dalam bentuk akta perdamaian yang disepakati oleh para pihak yang berperkara. Jadi, dalam mekanisme penyelesaian ini, intervensi hakim sangat kecil yaitu hanya berupa pembuatan dan pengesahan akta perdamaian. Akta perdamaian tersebut secara hukum diperkuat lagalitasnya dengan putusan pengadilan yang berisi amar agar para pihak menaati dan mematuhi isi perdamaian dimaksud.

Dalam perkembangannya, Mahkamah Agung Republik Indonesia berpendapat bahwa ketentuan Pasal 130 Herzien Inlandsch Reglemen (HIR) dan Pasal 154 Rechtreglement voor de Buitengewesten (RBg) tersebut perlu diatur lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaannya agar lebih optimal. Menindaklanjuti hal tersebut, maka kemudian terbitlah Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, yang selanjutnya digantikan dengan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, dan terakhir telah digantikan pula dengan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

Tags:

Berita Terkait