Mekanisme Yurisdiksi Internasional Bagi Pengadilan Indonesia dalam RUU HPI
Utama

Mekanisme Yurisdiksi Internasional Bagi Pengadilan Indonesia dalam RUU HPI

Pengadilan Indonesia memiliki yurisdiksi internasional atas suatu perkara HPI. Tapi juga dapat menolak untuk mengadili perkara HPI berdasarkan sejumlah pertimbangan.

Oleh:
Fathan Qorib
Bacaan 4 Menit

Di sisi lain, lanjut Yu Un, secara internal/nasional, keberadaan RUU HPI dapat menjadi patokan bagi hakim/pengadilan Indonesia memberlakukan hukum dalam mengadili perkara hukum perdata internasional. Sedangkan secara eksternal/internasional, RUU ini dapat memberikan informasi kepada hakim/pengadilan asing tentang hukum Indonesia terkait dengan perkara hukum perdata internasional.

Pasal 59 RUU HPI menyebutkan bahwa: “Pengadilan Indonesia memiliki yurisdiksi internasional atas suatu perkara HPI dalam hal; a. pihak tergugat dalam perkara adalah warga negara Indonesia atau berkediaman sehari-hari di wilayah Indonesia; b. pihak tergugat mempunyai perjanjian dengan warga negara Indonesia, badan usaha atau badan hukum Indonesia atau orang yang bertempat kediaman sehari-hari di Indonesia; c. pihak tergugat memiliki tempat usaha atau melakukan kegiatan usaha di wilayah Indonesia; objek perkara berdasarkan kualifikasi hukum Indonesia merupakan benda tetap, benda bergerak atau benda lain yang terleat atau terdaftar di Indonesia; e. para pihak dalam perkara telah secara tegas bersepakat, sebelum atau pada saat timbulnya sengketa memilih Pengadilan Indonesia sebagai forum penyelesaian perkara; f. tempat pelaksanaan suatu perjanjian ada di wilayah Indonesia; g. tempat terjadinya perbuatan melanggar hukum di Indonesia; h. tempat terbitnya kerugian akibat perbuatan melanggar hukum adalah di wilayah Indonesia atau di luar wilayah Indonesia, namun pihak yang dirugikan merupakan warga negara Indonesia; dan/atau i. pihak yang berperkara dan/atau objek perkara mempunyai kaitan paling nyata dan substansial dengan Indonesia”.

Selain Pengadilan Indonesia memiliki yurisdiksi internasional atas suatu perkara HPI, Pengadilan Indonesia juga dapat menolak untuk mengadili perkara HPI berdasarkan sejumlah pertimbangan. Hal ini tertuang dalam Pasal 60 RUU HPI yang menyebutkan bahwa: “Pengadilan Indonesia dapat menolak untuk mengadili Perkara HPI berdasarkan pertimbangan: a. para pihak dalam perkara, baik sebelum atau pada saat timbulnya perkara telah secara sah memilih Pengadilan Asing untuk mengadili perkara; b. para pihak dalam perkara telah secara sah mengikatkan diri pada perjanjian arbitrase atau cara penyelesaian sengketa lain di luar pengadilan; c. terdapat Pengadilan Asing yang memiliki kaitan paling nyata dan substansial dengan pokok perkara atau fakta dalam perkara; d. proses peradilan atas pokok perkara dan pihak yang sama sedang berlangsung di suatu Pengadilan Asing; e. pokok perkara dan pihak yang sama telah diputus dalam suatu putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap oleh Pengadilan Asing; atau f. materi perkara bertentangan dengan peraturan perundang-undangan Indonesia.

Hal senada juga diutarakan akademisi dari FH Universitas Mataram, M. Risnain. Menurutnya, RUU HPI bukan hanya untuk menjawab kebutuhan hukum warga negara Indonesia saja yang bersinggungan sengketa perdata dengan warga negara/pihak asing, tapi juga menjawab kebutuhan akademik dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang mungkin timbul di masa depan.

Dari penelusuran dirinya, terdapat dua contoh putusan pengadilan yang intinya menolak perkara HPI di Nusa Tenggara Barat. “Daerah kita (NTB, red) pariwisata pasti ada aspek HPI,” katanya. Pertama, adalah Putusan Mahkamah Agung No. 704 PK.PDT/2021 antara Heidi Margareth Petch WNA Australia dengan Nichole Ann Jennings Cs yang juga WNA Australia. Perkara ini adalah perbuatan melawan hukum yang mengandung nominee.

Pada tingkat pertama, melalui Putusan No.129/pdt/G/2017/PN.MTR, majelis hakim memutuskan perkara ini tidak dapat diterima (Niet on Varkelijk Verklaad). Sedangkan di tingkat banding melalui Putusan No.117/PDT/2018/PT.MTR, majelis menerima banding Pemohon bahwa perbuatan Tergugat adalah PMH.

Namun, pada tingkat kasasi melalui Putusan No.229/K/PDT/2020, majelis mengabulkan kasasi Tergugat dengan pertimbangan bahwa Penggugat tidak memiliki legal standing untuk menggugat karena WNA. Begitu juga pada tingkat Peninjauan Kembali, melalui Putusan MA No.704/PK/PDT menolak PK Penggugat dengan pertimbangan bahwa Penggugat WNA tidak memiliki legal standing untuk mengajukan gugatan terhadap sengketa tanah hak milik tersebut.

Pada contoh kasus kedua yakni Putusan MA No.1308K/PDT/2021 antara Sri Wartini (WNI) melawan Mc Millan Nathan Todd (WNA New Zealand) terkait gugatan PMH. Putusan tingkat pertama yakni No.100/Pdt.G/2019/PN.SELONG menyatakan mengabulkan gugatan tersebut Sebagian. Sedangkan di tingkat banding dengan Putusan No.85/PDT/2020/PT.MTR/2020 menguatkan Putusan PN Selong. Namun, pada tingkat kasasi dengan Putusan No.1308/K/PDT/2021 majelis mengabulkan permohonan kasasi Tergugat dengan pertimbangan Penggugat sebagai WNI tidak memiliki legal standing untuk menggugat.

Tags:

Berita Terkait