Melek Omnibus Law II: Menyoal Fleksibilitas Aturan PKWT-Outsourcing
RUU Cipta Kerja:

Melek Omnibus Law II: Menyoal Fleksibilitas Aturan PKWT-Outsourcing

Ada kekhawatiran, dengan menghapus Pasal 59 UU Ketenagakerjaan berarti PKWT bisa dilakukan terhadap semua jenis pekerjaan secara terus-menerus tanpa batas waktu (seumur hidup) dan sulitnya pekerja/buruh menjadi PKWTT.

Oleh:
Ady Thea DA /Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit

 

Seperti, sebagai kegiatan penunjang yang terpisah dari kegiatan pokok/utama; ada perintah langsung atau tidak langsung dari perusahaan pemberi pekerjaan; kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; tidak menghambat proses produksi; perlindungan dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain sekurang-kurangnya sama dengan perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai peraturan yang berlaku.

 

Jika syarat-syarat ini tidak terpenuhi, demi hukum status hubungan kerja beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan. Dalam RUU Cipta Kerja, ketentuan outsourcing tidak lagi terikat dengan syarat-syarat itu atau lebih fleksibel. Bedanya, Pasal 66 ayat (1) RUU Cipta Kerja menyebut hubungan kerja antara perusahaan alih daya dengan pekerja/buruh didasarkan pada PKWT atau PKWTT. Artinya, perusahaan outsourcing membuka peluang bagi pekerja tetap.    

 

Karena itu, perusahaan alih daya ini mensyaratkan wajib berbadan hukum dan memenuhi Perizinan Berusaha yang akan diatur PP. Keuntungan lain tercantum dalam Pasal 61A RUU Cipta Kerja. Aturan ini mewajibkan perusahaan memberi kompensasi kepada pekerjanya jika PKWT berakhir, paling sedikit masa kerja 1 tahun yang besarannya diatur PP.

 

Hukumonline.com

 

Menanggapi hal ini, Direktur Jenderal Perselisihan Hubungan Industrial dan Jamsos Kementerian Ketenagakerjaan Haiyani Rumondang menjelaskan salah satu klaster ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja yang diubah mengenai pengaturan PKWT. Haiyani menilai jenis perjanjian hubungan kerja pada intinya sama seperti diatur UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yakni PKWT dan PKWTT.

 

“Masih sama RUU Cipta Kerja seperti UU No.13 Tahun 2003, PKWT tidak boleh mensyaratkan masa percobaan. Jika disyaratkan, masa percobaan itu batal demi hukum, tapi masa kerja tetap dihitung,” ujar Haiyani saat diskusi di Jakarta, Kamis (5/3/2020) lalu. Baca Juga: Akademisi Ini Kritik Cara Penyusunan RUU Cipta Kerja

 

Dia melanjutkan RUU Cipta Kerja menghapus Pasal 59 UU No.13 Tahun 2003 yang mengatur persyaratan PKWT. Pasal ini mengatur PKWT hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu. Misalnya, pekerjaan sekali selesai atau sementara, penyelesaiannya paling lama 3 tahun atau bersifat musiman.

 

Nantinya, ketentuan mengenai persyaratan PKWT yakni jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu akan diatur dalam PP seperti diatur Pasal 56 ayat (4) RUU Cipta Kerja. Perlu dicermati pula Pasal 56 ayat (3) RUU Cipta Kerja mengatur jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu ditentukan berdasarkan kesepakatan para pihak.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait