Melek Omnibus Law II: Menyoal Fleksibilitas Aturan PKWT-Outsourcing
RUU Cipta Kerja:

Melek Omnibus Law II: Menyoal Fleksibilitas Aturan PKWT-Outsourcing

Ada kekhawatiran, dengan menghapus Pasal 59 UU Ketenagakerjaan berarti PKWT bisa dilakukan terhadap semua jenis pekerjaan secara terus-menerus tanpa batas waktu (seumur hidup) dan sulitnya pekerja/buruh menjadi PKWTT.

Oleh:
Ady Thea DA /Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit

 

“Praktiknya selama ini pekerja outsourcing seolah tidak bisa berstatus sebagai pekerja tetap atau PKWTT. Padahal, hubungan kerja antara perusahaan outsourcing dan pekerjanya tetap mengacu pada ketentuan PKWT atau PKWTT.”

 

Hukumonline.com

 

Menguntungkan pekerja

Ketua Ketua Himpunan Konsultan Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (HKHKI) Ike Farida menilai Pasal 59 dihapus, bukan berarti pemerintah mencabut aturan PKWT. Pengaturan PKWT tetap ada dalam Pasal 56 UU No.13 Tahun 2013 yang diubah dalam RUU Cipta Kerja. Jika sebelumnya ada batas waktu PKWT paling lama 2 tahun dan diperpanjang 1 tahun, sekarang aturan ini dihapus.

 

“RUU Cipta Kerja tidak lagi mengatur jangka waktu PKWT, perjanjian kerja berlaku sampai pekerjaan selesai,” kata Ike.

 

Menurut Ike, melalui perubahan ini, pemerintah ingin membenahi peraturan PKWT yang selama ini membuka peluang terjadinya penggelapan hukum. Praktiknya, ada pekerjaan yang tidak selesai dalam jangka waktu 3 tahun, sehingga ketika pekerja PKWT habis kontraknya, dia melamar lagi. Perusahaan juga masih membutuhkan karena pekerjaannya belum selesai. Akibatnya, penerapan batas waktu PKWT tidak efektif (sering dilanggar, red) karena kontrak bisa terus diperpanjang sampai melebihi 3 tahun.

 

“Itu terjadi karena sulitnya mencari lapangan pekerjaan, kemudian perusahaan juga masih membutuhkan pekerja untuk menyelesaikan pekerjaannya, maka pekerja melamar lagi,” katanya dalam seminar di Jakarta, Kamis (5/3/2020).

 

Dia menilai ketentuan PKWT dalam RUU Cipta Kerja menguntungkan pekerja karena setelah perjanjian kerja berakhir ada kompensasi yang wajib diberikan pengusaha. Menurutnya, kompensasi ini mirip pesangon seperti diatur Pasal 156 ayat (3) UU No.13 Tahun 2003 terkait perhitungan uang penghargaan masa kerja.

 

“Pekerja lebih terlindungi karena mereka mendapat kompensasi setelah perjanjian kerja berakhir,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait