Melek Omnibus Law II: Menyoal Fleksibilitas Aturan PKWT-Outsourcing
RUU Cipta Kerja:

Melek Omnibus Law II: Menyoal Fleksibilitas Aturan PKWT-Outsourcing

Ada kekhawatiran, dengan menghapus Pasal 59 UU Ketenagakerjaan berarti PKWT bisa dilakukan terhadap semua jenis pekerjaan secara terus-menerus tanpa batas waktu (seumur hidup) dan sulitnya pekerja/buruh menjadi PKWTT.

Oleh:
Ady Thea DA /Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Bidang ketenagakerjaan, salah satu dari 11 klaster dalam RUU Cipta Kerja yang terus mendapat sorotan publik setelah naskah akademik dan drafnya diserahkan ke pimpinan DPR pada 12 Februari 2020 lalu. Kritikan, masukan/saran terkait perubahan/penghapusan pasal-pasal ketenagakerjaan terus dialamatkan kepada pembentuk Undang-Undang (UU).  

 

Salah satunya, ketentuan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain/alih daya (outsourcing) atau lazim disebut pekerja kontrak. Dalam UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, PKWT dan outsourcing diatur dalam Bab IX tentang Hubungan Kerja, Pasal 50-66. Dari 17 pasal itu, RUU Cipta Kerja mengubah Pasal 56, 57, 58, 61, 62, dan 66. Sementara itu, ada 3 pasal yang dihapus yakni Pasal 59, 64, dan 65 dalam RUU Cipta Kerja.

 

Sebagian kalangan menilai ketentuan norma PKWT-outsourcing tidak banyak berubah dalam RUU Cipta Kerja. Tapi, kalangan buruh menilai ketentuan PKWT dan outsourcing dalam RUU Cipta Kerja banyak mengubah dan menghapus pasal-pasal penting yang selama ini telah melindungi buruh/pekerja. Baca Juga: Melek Omnibus Law I: Mengurai Problematika Pengupahan

 

Jika ditelisik, Pasal 56 ayat (3-4) RUU Cipta Kerja memasukkan prinsip “kesepakatan para pihak” (pekerja dan pengusaha) mengenai jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu yang teknisnya diatur Peraturan Pemerintah (PP). Pasal 57 RUU Cipta Kerja menghapus ketentuan sanksi jika PKWT tidak dibuat secara tertulis dianggap sebagai perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) alias pekerja tetap yang selama ini berlaku dalam UU Ketenagakerjaan.

 

Hukumonline.com

 

Hal terpenting, RUU Cipta Kerja menghapus Pasal 59 UU Ketenagakerjaan. Pasal 59 UU Ketenagakerjaan mengatur syarat-syarat PKWT, seperti pekerjaan sekali selesai atau sementara; pekerjaan diperkirakan selesai paling lama 3 tahun; pekerjaan musiman atau berhubungan produk baru/kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

 

Selain itu, PKWT yang didasarkan jangka waktu tertentu paling lama 2 tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 kali untuk jangka waktu paling lama 1 tahun. PKWT yang tidak memenuhi syarat-syarat itu dianggap demi hukum menjadi PKWTT atau pekerja/karyawan tetap. Namun, PKWT dalam RUU Cipta Kerja terkait jangka waktu dan selesainya pekerjaan tertentu didasarkan pada kesepakatan para pihak, seolah membuka peluang semua jenis pekerjaan bisa di-PKWT.

 

Hal yang sama berlaku pada ketentuan outsourcing. RUU Cipta Kerja pun menghapus syarat-syarat penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain yang berbadan hukum melalui perjanjian pemborongan yang dibuat secara tertulis. Sebelumnya, Pasal 64-66 UU Ketenagakerjaan mengatur beberapa syarat outsourcing.

 

Seperti, sebagai kegiatan penunjang yang terpisah dari kegiatan pokok/utama; ada perintah langsung atau tidak langsung dari perusahaan pemberi pekerjaan; kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; tidak menghambat proses produksi; perlindungan dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain sekurang-kurangnya sama dengan perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai peraturan yang berlaku.

 

Jika syarat-syarat ini tidak terpenuhi, demi hukum status hubungan kerja beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan. Dalam RUU Cipta Kerja, ketentuan outsourcing tidak lagi terikat dengan syarat-syarat itu atau lebih fleksibel. Bedanya, Pasal 66 ayat (1) RUU Cipta Kerja menyebut hubungan kerja antara perusahaan alih daya dengan pekerja/buruh didasarkan pada PKWT atau PKWTT. Artinya, perusahaan outsourcing membuka peluang bagi pekerja tetap.    

 

Karena itu, perusahaan alih daya ini mensyaratkan wajib berbadan hukum dan memenuhi Perizinan Berusaha yang akan diatur PP. Keuntungan lain tercantum dalam Pasal 61A RUU Cipta Kerja. Aturan ini mewajibkan perusahaan memberi kompensasi kepada pekerjanya jika PKWT berakhir, paling sedikit masa kerja 1 tahun yang besarannya diatur PP.

 

Hukumonline.com

 

Menanggapi hal ini, Direktur Jenderal Perselisihan Hubungan Industrial dan Jamsos Kementerian Ketenagakerjaan Haiyani Rumondang menjelaskan salah satu klaster ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja yang diubah mengenai pengaturan PKWT. Haiyani menilai jenis perjanjian hubungan kerja pada intinya sama seperti diatur UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yakni PKWT dan PKWTT.

 

“Masih sama RUU Cipta Kerja seperti UU No.13 Tahun 2003, PKWT tidak boleh mensyaratkan masa percobaan. Jika disyaratkan, masa percobaan itu batal demi hukum, tapi masa kerja tetap dihitung,” ujar Haiyani saat diskusi di Jakarta, Kamis (5/3/2020) lalu. Baca Juga: Akademisi Ini Kritik Cara Penyusunan RUU Cipta Kerja

 

Dia melanjutkan RUU Cipta Kerja menghapus Pasal 59 UU No.13 Tahun 2003 yang mengatur persyaratan PKWT. Pasal ini mengatur PKWT hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu. Misalnya, pekerjaan sekali selesai atau sementara, penyelesaiannya paling lama 3 tahun atau bersifat musiman.

 

Nantinya, ketentuan mengenai persyaratan PKWT yakni jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu akan diatur dalam PP seperti diatur Pasal 56 ayat (4) RUU Cipta Kerja. Perlu dicermati pula Pasal 56 ayat (3) RUU Cipta Kerja mengatur jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu ditentukan berdasarkan kesepakatan para pihak.

 

Praktiknya, kata dia, ada PKWT yang tidak memenuhi persyaratan, dikontrak lebih dari 3 tahun. Karena itu, nantinya PKWT berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak untuk membenahi (mengubah) praktik PKWT yang sering melebihi 3 tahun. Karena itu, untuk mengakomodir kepentingan itu batas waktu maksimal 3 tahun PKWT dihapus.

 

Sesuai kesepakatan, jika disepakati 4 tahun, PKWT berlaku sampai 4 tahun. Jangka waktu PKWT disesuaikan berapa lama pekerjaan itu bisa selesai. Untuk jenis pekerjaan apa saja akan diatur dalam PP.”

 

Jaminan perlindungan

Ada norma baru yang diatur Pasal 61A RUU Cipta Kerja terkait kompensasi yang wajib dibayar pengusaha ketika jangka waktu PKWT berakhir. Hal ini bentuk jaminan perlindungan terhadap buruh kontrak atau PKWT. Kompensasi itu diberikan untuk buruh dengan masa kerja minimal 1 tahun di perusahaan yang bersangkutan. Ketentuan lebih lanjut mengenai kompensasi ini diatur dalam PP.

 

“Setiap berakhirnya PKWT ada kompensasi yang wajib dibayar pengusaha kepada buruh. Ketentuan ini membenahi praktik PKWT selama ini dimana pekerja yang habis perjanjian kerjanya tidak mendapat perlindungan lagi,” kata dia.

 

Diakuinya, ada pandangan yang menyebut RUU Cipta Kerja akan melanggengkan PKWT dan menutup ruang bagi pekerja untuk berstatus PKWTT (pekerja kontrak seumur hidup). Haiyani menegaskan PKWTT akan tetap ada karena tidak semua jenis pekerjaan sifatnya sementara, ada pekerjaan yang sifatnya dilakukan terus menerus. Haiyani yakin PKWTT masih berpeluang bagi pekerja yang memiliki kemampuan dan keahlian sesuai kualifikasi yang dibutuhkan.

 

“Dihapusnya batas waktu PKWT, bukan berarti pekerja tidak bisa diangkat menjadi pekerja tetap atau PKWTT,” tegasnya. Baca Juga: Pemerintah Jelaskan Rasioalitas Perubahan Pengaturan PKWT

 

Soal outsourcing, Haiyani mengatakan Pasal 64 dan Pasal 65 UU Ketenagakerjaan dihapus karena pemerintah tidak ingin masuk dalam ranah perjanjian bisnis (perdata). Pemerintah hanya mengatur soal perlindungan bagi pekerja atau perjanjian kerjanya. Hubungan kerja perusahaan outsourcing dengan pekerjanya bisa menggunakan PKWT atau PKWTT.

 

“Praktiknya selama ini pekerja outsourcing seolah tidak bisa berstatus sebagai pekerja tetap atau PKWTT. Padahal, hubungan kerja antara perusahaan outsourcing dan pekerjanya tetap mengacu pada ketentuan PKWT atau PKWTT.”

 

Hukumonline.com

 

Menguntungkan pekerja

Ketua Ketua Himpunan Konsultan Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (HKHKI) Ike Farida menilai Pasal 59 dihapus, bukan berarti pemerintah mencabut aturan PKWT. Pengaturan PKWT tetap ada dalam Pasal 56 UU No.13 Tahun 2013 yang diubah dalam RUU Cipta Kerja. Jika sebelumnya ada batas waktu PKWT paling lama 2 tahun dan diperpanjang 1 tahun, sekarang aturan ini dihapus.

 

“RUU Cipta Kerja tidak lagi mengatur jangka waktu PKWT, perjanjian kerja berlaku sampai pekerjaan selesai,” kata Ike.

 

Menurut Ike, melalui perubahan ini, pemerintah ingin membenahi peraturan PKWT yang selama ini membuka peluang terjadinya penggelapan hukum. Praktiknya, ada pekerjaan yang tidak selesai dalam jangka waktu 3 tahun, sehingga ketika pekerja PKWT habis kontraknya, dia melamar lagi. Perusahaan juga masih membutuhkan karena pekerjaannya belum selesai. Akibatnya, penerapan batas waktu PKWT tidak efektif (sering dilanggar, red) karena kontrak bisa terus diperpanjang sampai melebihi 3 tahun.

 

“Itu terjadi karena sulitnya mencari lapangan pekerjaan, kemudian perusahaan juga masih membutuhkan pekerja untuk menyelesaikan pekerjaannya, maka pekerja melamar lagi,” katanya dalam seminar di Jakarta, Kamis (5/3/2020).

 

Dia menilai ketentuan PKWT dalam RUU Cipta Kerja menguntungkan pekerja karena setelah perjanjian kerja berakhir ada kompensasi yang wajib diberikan pengusaha. Menurutnya, kompensasi ini mirip pesangon seperti diatur Pasal 156 ayat (3) UU No.13 Tahun 2003 terkait perhitungan uang penghargaan masa kerja.

 

“Pekerja lebih terlindungi karena mereka mendapat kompensasi setelah perjanjian kerja berakhir,” ujarnya.

 

Mengenai outsourcing, Ike menjelaskan RUU Cipta Kerja mencabut Pasal 64 dan 65 UU No.13 Tahun 2003. Meski kedua pasal yang mengatur soal penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain atau outsourcing dan perjanjian pemborongan pekerjaan ini dicabut, tapi pengaturannya tetap ada dalam Pasal 66 RUU Cipta Kerja.

 

RUU Cipta Kerja juga menghapus pembatasan outsourcing yang sebelumnya hanya untuk 5 jenis pekerjaan yaitu usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja (catering), usaha tenaga pengaman (security), usaha penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja.

 

Dengan menghapus Pasal 64 dan 65, kata Ike, RUU Cipta Kerja berupaya membenahi praktik outsourcing yang selama ini tak jarang menuai polemik. Pembatasan jenis pekerjaan yang di-outsourcing berpotensi menimbulkan pelanggaran.

 

Misalnya, perusahaan menggunakan dalih pemborongan pekerjaan untuk melakukan outsourcing terhadap jenis pekerjaan di luar 5 jenis pekerjaan yang dibatasi itu. Padahal, faktanya penyerahan sebagian pekerjaan atau outsourcing yang dilakukan perusahaan itu merupakan mekanisme perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh (PPJP), bukan pemborongan.

 

Secara umum, Ike melihat ketentuan PKWT dan outsourcing dalam RUU Cipta Kerja lebih fleksibel daripada UU No.13 Tahun 2003. Pemerintah berupaya melonggarkan aturan PKWT dan membuatnya lebih fleksibel yakni jangka waktu PKWT tidak ditentukan atau sesuai kesepakatan kedua belah pihak.

 

Pakar Hukum Ketenagakerjaan Prof Payaman Simanjuntak menilai perubahan Pasal 61 UU Ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja belum mengatur sumber pendanaan kompensasi bagi pekerja PKWT jika masa kontraknya berakhir. Kemungkinan akan diatur lebih lanjut dalam PP, apakah nanti bentuknya iuran wajib yang dibayar pengusaha atau menggunakan mekanisme lain?

 

“Bagaimana bentuknya uang kompensasi ini sepertinya akan diatur dalam PP,” kata dia.

 

Payaman memberi contoh praktik di perusahaan minyak dan gas dimana perusahaan menabung setiap bulan sebesar 8,33 persen dari upah pekerja. Tabungan itu akan diberikan kepada pekerja yang bersangkutan ketika kontraknya berakhir. “Ini yang perlu dipikirkan pengusaha,” saran dia.

 

Mengenai outsouring, Payaman melihat RUU Cipta Kerja mencabut Pasal 64 dan Pasal 65 UU No.13 Tahun 2003 yang intinya menghapus kriteria dan persyaratan outsourcing. Tapi RUU Cipta Kerja menyederhanakan aturan PPJP sebagaimana diatur Pasal 66 UU No.13 Tahun 2003. Lebih rinci lagi pengaturan outsourcing akan dituangkan dalam PP.

 

PKWT tanpa batas waktu

Ketua Pusat Studi Hukum Ketenagakerjaan Universitas Trisakti, Andari Yurikosari, menilai RUU Cipta Kerja mencabut sejumlah pasal krusial UU No.13 Tahun 2003. Pasal yang dicabut, antara lain mengenai PKWT sebagaimana diatur Pasal 59 UU No.13 Tahun 2003. Dengan menghapus Pasal 59 UU Ketenagakerjaan berarti PKWT bisa dilakukan terus-menerus tanpa batas waktu (seumur hidup).

 

Ketentuan ini semakin membuka celah pelanggaran mengingat sanksi administratif yang diatur Pasal 59 ayat (7) juga dihapus. Pasal ini mengatur sanksi bagi perusahaan jika PKWT tak memenuhi syarat-syarat, demi hukum (otomatis) pekerja menjadi PKWTT. "Penghapusan Pasal 59 ini, apakah melindungi atau malah mengebiri hak-hak pekerja?”

 

Andari menilai Pasal 59 UU No.13 Tahun 2003 sebagai bentuk perlindungan yang cukup baik untuk buruh PKWT. Selama ini, kata dia, Pasal 59 UU Ketenagakerjaan menjadi acuan hakim mengadili perkara hubungan industrial dalam kasus PKWT. Hakim menggunakan Pasal 59 untuk memberi hak pekerja PKWT yang mengalami pelanggaran.

 

Menurut Andari, hubungan kerja itu lahir karena ada perjanjian kerja. Perjanjian kerja merupakan buah kesepakatan para pihak. Andari juga menyoroti ketentuan kerja satuan waktu atau per jam. Sistem kerja per jam ini tidak memberi perlindungan kepada buruh karena kecil kemungkinan dibentuk perjanjian kerja. Posisi tawar buruh semakin lemah karena dihadapkan pada posisi mengambil pekerjaan dengan sistem per jam itu atau tidak.

 

“Untuk jenis pekerjaan lain masih memerlukan perjanjian kerja baik PKWT atau PKWTT. Tanpa hubungan kerja yang jelas, maka perlindungan buruh menjadi kabur.”

 

Wakil Ketua Umum DPP FSP-KEP KSPI Sahat Butar Butar menegaskan persyaratan dalam Pasal 59 UU No.13 Tahun 2003 merupakan bentuk perlindungan bagi buruh. Ketentuan itu mengatur jenis pekerjaan apa saja yang bisa menggunakan PKWT dan berapa lama jangka waktunya, sehingga ada jaminan kepastian hukum.   

 

“Jika PKWT tidak diatur ketat, maka memperkecil peluang buruh dipekerjakan secara PKWTT, ini akan berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan buruh,” kata dia.

 

Hukumonline.com

 

Wakil Ketua Umum KPBI Jumisih berpendapat RUU Cipta Kerja hanya mengakomodir kepentingan investor. Segala ketentuan yang termaktub dalam RUU Cipta Kerja ditujukan untuk memberi kemudahan untuk investasi. Tapi perlindungan dan hak buruh dikurangi. Salah satu buktinya RUU Cipta Kerja menghapus Pasal 59 UU No.13 Tahun 2003.

 

“RUU Cipta Kerja tidak memberi perlindungan dan kepastian keberlanjutan hubungan kerja bagi buruh,” katanya.

Tags:

Berita Terkait