Melek Omnibus Law III: Mengurai Perbedaan PHK
Utama

Melek Omnibus Law III: Mengurai Perbedaan PHK

Pengaturan PHK dinilai tak berubah signifikan dalam RUU Cipta Kerja. Sisi lain, RUU Cipta Kerja dinilai posisi tawar pekerja/buruh semakin rendah dan pengusaha semakin mudah melakukan PHK karena lebih mengutamakan kesepakatan para pihak, bukan penetapan PHI.

Oleh:
Adi Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

Pasal 164 UU Ketenagakerjaan mengatur pesangon akibat PHK karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian terus menerus selama 2 tahun, atau keadaan memaksa (force majeur). Ketentuan ini juga mengatur pesangon akibat PHK karena perusahaan melakukan efisiensi. Pasal 165 UU Ketenagakerjaan mengatur pesangon untuk PHK karena perusahaan pailit. Pasal 166 dan 167 UU Ketenagakerjaan masing-masing mengatur pesangon untuk PHK karena pekerja/buruh meninggal dan pensiun.

 

Pasal 168 UU Ketenagakerjaan mengatur PHK bagi pekerja/buruh yang mangkir selama 5 hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan. Pasal 169 UU Ketenagakerjaan mengatur hak pekerja/buruh untuk mengajukan permohonan PHK kepada lembaga penyelesaian hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan tertentu, seperti menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh, dan lain-lain.  

 

Pasal 170 UU Ketenagakerjaan menyebutkan PHK yang tidak memenuhi Pasal 151 ayat (3) dan Pasal 168, kecuali Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), Pasal 162, dan Pasal 169 batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan buruh yang bersangkutan serta membayar upah dan hak yang seharusnya diterima. Pasal 171 UU Ketenagakerjaan memberi ruang pekerja/buruh yang mengalami PHK dengan alasan sebagaimana Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), dan Pasal 162 dapat mengajukan gugatan ke PHI dalam jangka waktu 1 tahun sejak di-PHK.

 

Pasal 172 UU Ketenagakerjaan juga memberi kesempatan bagi pekerja/buruh yang mengalami sakit berkepanjangan, cacat akibat kecelakaan kerja, dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melewati 12 bulan dapat mengajukan PHK dan berhak mendapat uang pesangon, penghargaan masa kerja, penggantian hak. Terakhir, RUU Cipta Kerja menghapus ketentuan pidana Pasal 184 UU Ketenagakerjaan yang intinya mengancam pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp500 juta bagi pihak yang melanggar Pasal 167 ayat (5).

 

Tidak berubah signifikan

Direktur Jenderal Perselisihan Hubungan Industrial dan Jamsos Kementerian Ketenagakerjaan Haiyani Rumondang mengatakan klaster ketenagakerjaan dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja mengatur beberapa hal, antara lain mengenai PHK dan pesangon. Haiyani menjelaskan RUU Cipta Kerja mengelompokkan alasan PHK dalam satu pasal. Sementara dalam UU Ketenagakerjaan alasan PHK diatur dalam sejumlah pasal terpisah. Dari penelusuran Hukumonline, RUU Cipta Kerja mengatur alasan PHK, antara lain Pasal 154A.

 

Kemudian Haiyani menyebut RUU Cipta Kerja mengubah ketentuan mengenai uang penggantian hak. Sebelumnya uang penggantian hak diatur rinci dalam Pasal 156 ayat (4). "Nanti sudah tidak ada lagi uang penggantian hak karena ini sudah ada dalam bentuk jaminan kesehatan, perumahan, dan lainnya (nantinya uang pergantian hak tergantung perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, red),” katanya dalam acara seminar awal Maret 2020 lalu.

 

Hukumonline.com

 

Pakar Hukum Ketenagakerjaan Prof Payaman Simanjuntak menilai pengaturan PHK dalam UU Ketenagakerjaan tidak berubah signifikan dalam RUU Cipta Kerja. Mekanisme PHK hampir sama seperti saat ini yakni diselesaikan dulu secara bipartit, jika tidak mencapai kesepakatan lanjut ke tingkat tripartit dan terakhir pengadilan hubungan industrial (PHI).

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait