Melek Omnibus Law III: Mengurai Perbedaan PHK
Utama

Melek Omnibus Law III: Mengurai Perbedaan PHK

Pengaturan PHK dinilai tak berubah signifikan dalam RUU Cipta Kerja. Sisi lain, RUU Cipta Kerja dinilai posisi tawar pekerja/buruh semakin rendah dan pengusaha semakin mudah melakukan PHK karena lebih mengutamakan kesepakatan para pihak, bukan penetapan PHI.

Oleh:
Adi Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

“Aturan PHK dalam RUU Cipta Kerja tidak berubah signifikan, hampir sama seperti yang berlaku sekarang,” ujar Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Krisna Dwipayana ini. Baca Juga: Melek Omnibus Law I: Mengurai Problematika Pengupahan

 

Hanya saja, Payaman mengingatkan RUU Cipta Kerja menambah program jaminan sosial baru yakni Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Menurutnya, para pihak harus memikirkan bagaimana mekanisme bergulirnya program tersebut apakah iurannya berasal dari pengusaha dan pekerja atau pemerintah? Ketentuan ini akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

 

Karenanya, RUU Cipta Kerja mengubah Pasal 18 UU No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dengan menambahkan 1 program jaminan sosial baru yakni JKP yang diselenggarakan oleh BPJS. Program JKP ini ditujukan bagi pekerja/buruh yang mengalami PHK atau kehilangan pekerjaan untuk mempertahankan derajat kehidupan yang layak.

 

Pasal 46C RUU Cipta Kerja terkait perubahan Pasal 18 UU SJSN menyebutkan peserta JKP adalah setiap orang yang telah membayar iuran. Besaran iuran berupa presentase tertentu dari upah. Dalam perubahan Pasal 6 UU No.24 Tahun 2011 tentang BPJS dalam RUU Cipta Kerja mengamanatkan penyelenggaraan JKP dilakukan oleh BPJS Ketenagakerjaan.

 

Hukumonline.com

 

Ketua Pusat Studi Hubungan Industrial dan Perlindungan Tenaga Kerja Universitas Trisakti Andari Yurikosari menilai RUU Cipta Kerja sebenarnya menyasar pasal-pasal krusial dalam UU Ketenagakerjaan. Misalnya dalam mekanisme PHK, RUU Cipta Kerja memberi ruang lebih besar bagi pengusaha untuk lebih mudah melakukan PHK karena mengutamakan kesepakatan para pihak, bukan penetapan pengadilan (PHI).  

 

“Jika didasarkan pada kesepakatan, maka kita sudah bisa mengetahui bagaimana hasilnya. Jelas posisi pengusaha lebih kuat daripada pekerja/buruh,” kata Andari yang juga Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti ini.

 

Hukumonline.com

 

Dia menegaskan RUU Cipta Kerja menempatkan pengusaha dan pekerja/buruh dalam posisi seimbang, padahal faktanya timpang (tidak seimbang). Jika ketentuan PHK sebagaimana diatur dalam RUU Cipta Kerja ini disahkan, posisi tawar pekerja/buruh semakin rendah dan pengusaha semakin mudah melakukan PHK.

 

"Pekerja/buruh pasti akan berada dalam posisi yang mau tidak mau harus menerima PHK karena (pasal-pasal RUU Cipta Kerja, red) mencerminkan kedudukan pengusaha lebih kuat (posisi tawarnya, red) daripada pekerja," tegasnya. 

Tags:

Berita Terkait